Tentang Blog

Catatan ringan hasil mengumpulkan kembali ingatan tentang perjalanan yang telah dilalui. Bukan dimaksudkan untuk memberikan panduan perjalanan, hanya sebagai testimoni betapa mengagumkan negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.

author

Sayyidul Istighfar

Leave a Comment
SAYYIDUL ISTIGHFAR. Begitulah Rasulullah SAW menamakan lafadz istighfar yang dahsyat ini. Betapa tidak. Bagi yang membacanya pada waktu petang dan meninggal pada malam harinya maka dinyatakan berhak masuk surga. Demikian juga bagi yang membacanya di waktu pagi dan meninggal di hari itu maka akan menjadi penghuni surga. Begitulah jaminan yang diberikan Rasulullah SAW. Sayangkan kalau dilewatkan begitu saja? 

Alhamdulillah, saya mengetahui dan mengamalkan sayyidul istighfar ini sudah sejak puluhan tahun yang lalu. Bapak yang mengenalkannya. Memang tidak secara khusus mengajari atau meminta saya menghapal. 

Seingat saya, Bapak pertama kali membacakan hadits tentang sayyidul istighfar ini saat ceramah tarawih Ramadhan. Entah tahun berapa saya sudah agak lupa. Barangkali ketika saya usia SMP atau SMA. 

Setelah itu lafadz istighfar ini dijadikan wirid ba'da Shalat Maghrib dan Shalat Subuh di masjid. Masing-masing dibaca tiga kali. Pada awalnya kami mengulang penggalan lafadz yang dibaca Bapak. Setelah beberapa lama, tiba-tiba satu persatu kami hapal tanpa dituntun lagi. Sudah hapal di luar kepala. Metode menghapal yang sangat sederhana. Didengar berulang-ulang dan dibaca berulang-ulang. 

Begitulah kami, jamaah Masjid Al-Falah Dagen hapal dan rutin melafadzkan penghulunya istighfar ini. Orang tua, pemuda, maupun anak-anak semua hapal. Melafadzkan bersama-sama sebagai wirid setelah Shalat Maghrib dan Subuh. Hingga saat ini setelah puluhan tahun sejak kami mengenalnya. 

Sampai saat ini sebisa mungkin saya masih berkomitmen melanggengkan wirid ini. Insya Allah berusaha merutinkan setiap petang dan setiap pagi. Meskipun kadang lupa, terlewat tidak membacanya. 

Tidak ada yang tahu kapan Allah SWT memanggil kembali. Sudah seharusnya berjaga-jaga. Salah satunya dengan melanggengkan membaca sayyidul Istighfar. Semoga panggilan itu tidak datang ketika sedang lupa mengamalkan istighfar yang luar biasa ini. Tentu berharap kelak dapat menjadi penghuni surga sebagaimana jaminan yang diberikan Rasulullah SAW. 

Sebagaimana namanya, kandungan maknanya memang luar biasa. Bikin nggrantes. Menyadari ketidakberdayaan seorang hamba dihadapan Allah yang Maha Kuasa, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun. 

Ada juga alasan lain yang bersifat pribadi. Menjaga mengamalkannya secara rutin untuk melanjutkan bakti kepada Bapak setelah beliau wafat. Bapak yang pertama kali mengajarkan bacaan sayyidul istighfar dan kedalaman maknanya. Semoga komitmen untuk rutin melafadzkan sayyidul istighfar ini akan terus mengalirkan pahala. Sebagai ilmu yang bermanfaat yang telah diajarkan Bapak. Salah satu amalan yang tidak akan terputus pahalanya, selain shadaqah jariah dan doa anak yang shaleh.

Semoga Allah SWT melapangkan kubur Bapak, meneranginya, dan menjadikannya bagian dari taman surga.    

للَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, yang telah menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu. Dan aku diatas ikatan janji-Mu, dan aku berjanji kepada-Mu dengan segenap kemampuanku. Aku berlindung kepadamu dari segala kejelekan yang telah aku perbuat. Aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku. Dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau (HR. Bukhari).
Read More

Ada Apa dengan Arbain?

Leave a Comment
Seringkali ketika berkenalan, orang langsung menduga jika saya anak keempat. Darimana lagi kalau bukan dari nama Arba'in. Orang tua kami memang menandai anak-anaknya dengan angka urut. 

Kakak sulung, mas Jat pakai nama Wahid. Almarhumah mbak Datik sebagai anak kedua ditandai dengan nama Dwi. Mas Han dengan nama Tri karena anak ketiga. Hanya Anas yang tidak pakai nama angka urut. Sepertinya memang sudah direncanakan sebagai anak bungsu. 

Tidak jarang juga orang berseloroh kalau saya anak ke-40. Tidak begitu salah sih. Arba'in dalam bahasa Arab memang lebih pas diartikan 40. Kalau 4 itu Arba'a. Hanya terasa janggal saja kalau di jaman sekarang ada yang memiliki anak sampai 40. Kalau menurut bapak, nama Arba'in (biasa saya tulis juga dengan Arbain) memang dipakai sebagai penanda saya anak ke-4. Alasannya biar lebih mudah diucapkan dan luwih pantes saja

Saya malah punya pengalaman unik ketika bekerja di sebuah NGO. Country Director yang asli orang Perancis memanggil saya dengan Mr. Forty. Sekadar untuk menertawakan kemampuan bahasa Arab saya. 

Gara-garanya saya gelagepan ketika diajak ngobrol pakai bahasa Arab. Katanya, saya yang hanya paham masmuk dan kaifa haluk gak pantas pakai nama bahasa Arab. Padahal dia yang bule saja lancar berbahasa Arab. Selancar bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman yang dikuasai. Maklum dia sering ditugaskan di negara-negara Timur Tengah. 

Tinggi juga selera humornya. Saya hanya bisa nyengir ketika staf-staf lain ikutan memanggil dengan Mr. Forty

Saya sih tidak terlalu pusing apakah Arbain berarti 4 atau 40. Ngikut yang memberikan nama saja. Belakangan malah menduga barangkali orang tua memang sengaja menamakan Arbain selain sebagai penanda anak ke-4 juga sebagai pesan agar saya menaruh perhatian pada usia 40. 

Bukankah ada ungkapan life begins at forty? Pada usia 40 seharusnya seseorang sudah mencapai jenjang usia kematangan emosional. Sudah pada usia dewasa yang stabil. 

Bahkan di Al-Qur'an juga diingatkan pentingnya usia 40. Simak saja Surat Al-Ahqaf (46) ayat 15. Ayat ini memberikan indikator terukur ketika seseorang mencapai usia 40. 

Ada 5 karakter positif yang seharusnya sudah dicapai ketika memasuki usia 40 dan harus terus ditingkatkan setelahnya. Pertama, pandai bersyukur atas nikmat yang telah diterima dan diterima kedua orang tua. Kedua, fokus pada amal shaleh untuk mendapatkan ridla Allah. Ketiga, menaruh perhatian serius pada kebaikan anak keturunan. Keempat, mudah menyadari kesalahan dan segera bertaubat. Kelima, menjaga nikmat sebagai muslim dengan berserah diri hanya kepada Allah SWT. 

Saya sendiri, harus mengakui di usia yang sudah melewati kepala 5 masih belum memenuhi indikator kinerja yang seharusnya dicapai pada usia 40 itu. Masih jauh banget. Semoga saja tidak mengecewakan harapan orang tua dan masih ada waktu untuk mengejar ketertinggalan. 

Anda yang tidak punya nama Arbain, tidak ada salahnya juga punya perhatian pada usia 40. Malah sudah seharusnya. Sepertinya hanya usia 40 yang disebut secara khusus dalam Al-Qur'an. Tidak perlu menunggu dipanggil Arbain untuk punya perhatian capaian kinerja pada usia 40.

Jika saat ini masih dibawah 40, jadikan karakter positif itu sebagai target yang harus dicapai. Jika sudah lewat 40, jadikan untuk evaluasi seberapa senjang dari capaian ideal itu. Tak perlu berputus asa. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri mumpung hayat masih dikandung badan. Sampai nanti Allah SWT mencukupkan usia pada batas waktu yang telah ditetapkan. 

Semoga kita semua husnul khatimah. 


وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡهٗا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهٗاۖ وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهۡرًاۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةٗ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertaubat kepada Engkau, dan sungguh, aku termasuk orang muslim" (QS 46:15).
Read More

(Tidak ada Kata) TERLAMBAT BELAJAR AL-QUR'AN

Leave a Comment
Seringkali ketika melihat anak-anak kecil yang sudah lancar membaca Al-Qur'an, saya teringat dengan cerita kakek, mbah Sahlan Syamsulhadi. Kami lebih sering memanggilnya dengan simbah kakung atau supaya lebih ringkas malah cukup mbah kung. Kakung dalam bahasa Jawa berarti laki-laki. Sama dengan lanang, tetapi digunakan untuk menghormati orang yang lebih sepuh

Kembali ke cerita mbah kung. Kejadiannya pada suatu malam Jum'at. Eit... jangan berprasangka dulu! Ini bukan cerita horor koq

Seperti biasanya, setiap malam Jum'at mbah kung menghadiri jamaah Yasinan. Begitulah biasanya dinamakan, diambil dari kebiasaan membaca surat Yasin pada setiap kegiatannya. Meskipun sebenarnya dilanjut dengan membaca awal surat Al-Baqarah, ayat Kursi, akhir surat Al-Baqarah, dan beberapa ayat lain termasuk trio surat Qul. Tetap saja penamaan yang sering digunakan adalah pengajian Yasinan. 

Nah, ceritanya terkait dengan kemampuan anak-anak kecil jaman now yang hampir semua sudah lancar membaca Al-Qur'an. Tidak seperti dulu. Gak semua orang, bahkan yang sudah dewasa bisa membaca Al-Qur'an. Tetapi, untuk urusan kegiatan keagamaan gak kalah meriah. Salah satunya ya kebiasaan bersama-sama membaca Al-Qur'an di malam Jum'at tadi. 

Meskipun dilakukan berjamaah, sesungguhnya setiap orang membaca sendiri-sendiri. Hanya saja dilakukan dengan jahr. Seberapa kencang suara untuk membacanya, menurut selera masing-masing. Ada yang pelan mirip bisikan, ada pula yang kencang setengah berteriak. Demikian pula tempo membacanya. Ada yang secepat kereta ekspres saking sudah hapal di luar kepala, ada pula yang lambat sambil menghayati atau terbata-bata karena memang belum lancar membaca. 

Kembali lagi ke cerita mbah kung. Tokoh yang diceritakan mbah Kung kebetulan belum bisa membaca Al-Qur'an. Untungnya, di buku Yasin seringkali dilengkapi dengan transliterasi huruf latin sehingga memungkinkan melafadzkan bagi yang belum bisa membacanya.

Begitulah cara beliau membacanya. Mengeja dari transliterasi huruf latin dengan suara yang lumayan kencang. Bisa jadi banyak juga jamaah lain yang menggunakan cara yang sama. 

Lancar-lancar saja. Meskipun bagi yang paham tajwid dan makhrajul huruf ada beberapa pengucapan yang terdengar kurang pas ditelinga. Sampai kemudian, ketika membaca awal surat Al-Baqarah, di ayat 3 yang dimulai dengan lafadz ALLADZIINA beliau ucapkan dengan ALLAD-ZIINA. Sepertinya beliau tidak sepenuhnya memahami transliterasi yang digunakan di kitab Yasin yang dimiliki.

Pengucapan yang cukup keras dengan logat Jawa yang medok tak urung membuat mbah kung yang duduk disebelahnya tersenyum. Beberapa jamaah bahkan tertawa tertahan sambil meneruskan bacaan. 

Sepintas dari cerita mbah kung, bacaan beliau memang lebih terdengar sebagai "alat zina". Membuat kami yang mendengar ceritanya jadi ikut tersenyum. Gak kebayang kalau itu terjadi saat ini. Sepertinya bakal viral. 

Alih-alih memviralkan, mbah Kung justru menunggu saat berdua untuk memberikan koreksi. Untuk menjaga martabat beliau yang memang pejabat setempat. 

"Alhamdulillah, orangnya mau dinasehati dan mau belajar. Sekarang sudah lancar baca Al-Qur'an". Begitulah mbah kung menutup ceritanya. 

Tidak mudah memang orang jaman dulu belajar membaca Al-Qur'an. Lebih butuh usaha dan waktu. Berbeda dengan generasi sekarang yang hampir semuanya dapat membaca Al-Qur'an sejak kecil. Belajarnya pun dalam waktu singkat berkat inovasi metodologi pembelajaran. Inovasi cara mudah dan cepat membaca Al-Qur'an. Yang paling fenomenal tentu saja metode Iqro' yang dipakai di banyak Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA). Hasilnya, hampir semua sudah lancar membaca Al-Qur'an sebelum lulus SD. 

Kini, perkembangan inovasi pembelajaran itu bukan saja bagaimana cara membacanya. Ada juga inovasi menghapal Al-Qur'an. Maka bermunculan beberapa istilah, misalnya "Menghapal Al-Qur'an Semudah Tersenyum", "Hapal Al-Qur'an dalam 8 jam", dan sebagainya. Intinya, semua menawarkan metologi yang memudahkan mampu menghapal Al-Qur'an dalam waktu yang lebih cepat. 

Bahkan, alhamdulillah belakangan juga berkembang inovasi metode cepat memahami Al-Qur'an. Metode bagaimana cara memahami bahasa Arab secara mudah dan cepat sehingga membantu untuk mengartikan kata dan memahami makna ayat Al-Qur'an. Ada yang memperkenalkan istilah "Sekejap Faham Al-Qur'an", "60 Hari Bisa Menerjemahkan Al-Qur'an", dan lain sebagainya. 

Lebih bersyukur lagi, inovasi-inovasi pembelajaran itu bukan hanya ditujukan untuk anak-anak. Memungkinkan juga dipelajari oleh orang yang lebih tua. Hasilnya bisa jadi memang tidak dapat mencapai 100%. Barangkali karena kesibukan atau faktor usia yang menyebabkan penurunan daya serap dan daya ingat. 

Akan tetapi, seperti yang dipesankan mbah kung lewat ceritanya, tidak ada kata terlambat untuk belajar Al-Qur'an. Berapapun usia kita, apapun status sosial kita tidak perlu menjadi penghalang untuk terus belajar Al-Qur'an. 

*(Tidak ada Kata) TERLAMBAT BELAJAR AL-QUR'AN*

Seringkali ketika melihat anak-anak kecil yang sudah lancar membaca Al-Qur'an, saya teringat dengan cerita kakek saya, mbah Sahlan Syamsulhadi. Kami lebih sering memanggilnya dengan simbah kakung atau supaya lebih ringkas malah cukup mbah kung. _Kakung_ dalam bahasa Jawa berarti laki-laki. Sama dengan _lanang_, tetapi digunakan untuk menghormati orang yang lebih sepuh. 

Kembali ke cerita mbah kung. Kejadiannya pada suatu malam Jum'at. Eit... jangan berprasangka dulu! Ini bukan cerita horor koq. 

Seperti biasanya, setiap malam Jum'at mbah kung menghadiri jamaah Yasinan. Begitulah biasanya dinamakan, diambil dari kebiasaan membaca surat Yasin pada setiap kegiatannya. Meskipun sebenarnya dilanjut dengan membaca awal surat Al-Baqarah, ayat Kursi, akhir surat Al-Baqarah, dan beberapa ayat lain termasuk trio surat Qul. Tetap saja penamaan yang sering digunakan adalah pengajian Yasinan. 

Nah, ceritanya terkait dengan kemampuan anak-anak kecil jaman _now_ yang hampir semua sudah lancar membaca Al-Qur'an. Tidak seperti dulu. _Gak_ semua orang, bahkan yang sudah dewasa bisa membaca Al-Qur'an. Tetapi, untuk urusan kegiatan keagamaan gak kalah meriah. Salah satunya ya kebiasaan bersama-sama membaca Al-Qur'an di malam Jum'at tadi. 

Meskipun dilakukan berjamaah, sesungguhnya setiap orang membaca sendiri-sendiri. Hanya saja dilakukan dengan _jahr_. Seberapa kencang suara untuk membacanya, menurut selera masing-masing. Ada yang pelan mirip bisikan, ada pula yang kencang setengah berteriak. Demikian pula tempo membacanya. Ada yang secepat kereta ekspres saking sudah hapal di luar kepala, ada pula yang lambat sambil menghayati atau terbata-bata karena memang belum lancar membaca. 

Kembali lagi ke cerita mbah kung. Tokoh yang diceritakan mbah Kung kebetulan belum bisa membaca Al-Qur'an. Untungnya, di buku Yasin seringkali dilengkapi dengan transliterasi huruf latin sehingga memungkinkan melafadzkan bagi yang belum bisa membacanya.

Begitulah cara beliau membacanya. Mengeja dari transliterasi huruf latin dengan suara yang lumayan kencang. Bisa jadi banyak juga jamaah lain yang menggunakan cara yang sama. 

Lancar-lancar saja. Meskipun bagi yang paham _tajwid_ dan _makhrajul huruf_ ada beberapa pengucapan yang terdengar kurang pas ditelinga. Sampai kemudian, ketika membaca awal surat Al-Baqarah, di ayat 3 yang dimulai dengan lafadz ALLADZIINA beliau ucapkan dengan ALLAD-ZIINA. Sepertinya beliau tidak sepenuhnya memahami transliterasi yang digunakan di kitab Yasin yang dimiliki.

Pengucapan yang cukup keras dengan logat Jawa yang _medok_ tak urung membuat mbah kung yang duduk disebelahnya tersenyum. Beberapa jamaah bahkan tertawa tertahan sambil meneruskan bacaan. 

Sepintas dari cerita mbah kung, bacaan beliau memang lebih terdengar sebagai "alat zina". Membuat kami yang mendengar ceritanya jadi ikut tersenyum. Gak kebayang kalau itu terjadi saat ini. Sepertinya bakal viral. 

Alih-alih memviralkan, mbah Kung justru menunggu saat berdua untuk memberikan koreksi. Untuk menjaga martabat beliau yang memang pejabat setempat. 

"Alhamdulillah, orangnya mau dinasehati dan mau belajar. Sekarang sudah lancar baca Al-Qur'an". Begitulah mbah kung menutup ceritanya. 

Tidak mudah memang orang jaman dulu belajar membaca Al-Qur'an. Lebih butuh usaha dan waktu. Berbeda dengan generasi sekarang yang hampir semuanya dapat membaca Al-Qur'an sejak kecil. Belajarnya pun dalam waktu singkat berkat inovasi metodologi pembelajaran. Inovasi cara mudah dan cepat membaca Al-Qur'an. Hampir semua sudah lancar membaca Al-Qur'an sebelum lulus SD. 

Kini, perkembangan inovasi pembelajaran itu bukan saja bagaimana cara membacanya. Ada juga inovasi menghapal Al-Qur'an. Maka bermunculan beberapa istilah, misalnya "Menghapal Al-Qur'an Semudah Tersenyum", "Hapal Al-Qur'an dalam 8 jam", dan sebagainya. Intinya, semua menawarkan metologi yang memudahkan mampu menghapal Al-Qur'an dalam waktu yang lebih cepat. 

Bahkan, alhamdulillah belakangan juga berkembang inovasi metode cepat memahami Al-Qur'an. Metode bagaimana cara memahami bahasa Arab secara mudah dan cepat sehingga membantu untuk mengartikan kata dan memahami makna ayat Al-Qur'an. Ada yang memperkenalkan istilah "Sekejap Faham Al-Qur'an", "60 Hari Bisa Menerjemahkan Al-Qur'an", dan lain sebagainya. 

Lebih bersyukur lagi, inovasi-inovasi pembelajaran itu bukan hanya ditujukan untuk anak-anak. Memungkinkan juga dipelajari oleh orang yang lebih tua. Hasilnya bisa jadi memang tidak dapat mencapai 100%. Barangkali karena kesibukan atau faktor usia yang menyebabkan penurunan daya serap dan daya ingat. 

Akan tetapi, seperti yang dipesankan mbah kung lewat ceritanya, tidak ada kata terlambat untuk belajar Al-Qur'an. Berapapun usia kita, apapun status sosial kita tidak perlu menjadi penghalang untuk terus belajar Al-Qur'an. 

Tidak ada alasan untuk tidak belajar membacanya dengan benar. Tidak bakal terlambat untuk mulai bersungguh-sungguh menghapalnya seberapun nanti yang didapat. Tidak  perlu menunda belajar bahasa Arab, berusaha lebih mengerti arti untuk memahami maknanya. InsyaAllah akan lebih mendorong semangat untuk mengamalkan Al-Qur'an. Menjadikan Al-Qur'an sebagaimana diturunkan Allah SWT, sebagai "hudal linnaasi wabayyinaatim minal hudaa wal furqaan".

Bukankan Allah SWT telah memudahkan Al-Qur'an untuk dijadikan pelajaran dan untuk diingat?

“Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR. Muslim).

Depok, 17 Ramadhan 1443 H
Read More

Selamat Jalan Ris... (Mengantar Orang Baik Menghadap Dzat yang Maha Baik)

Leave a Comment

Pagi itu, 2 Januari 2021 matahari baru sepenggalah naik ketika sebuah panggilan masuk ke HP. Nama yang sudah sangat kukenal. Tidak ada alasan untuk tidak segera mengangkatnya. Tapi pagi itu beda. Aku sejenak tergugu. Sebelum akhirnya menerima panggilan telepon itu. 

"In, aku udah di depan rumahmu. Bukain pagar". 

Tanpa basa-basi. Bahkan sebelum aku menjawab salamnya. 

Seperti beberapa kali sebelumnya dolan ke rumah, tentu dengan senang hati aku akan menyambutnya. Tapi kembali aku tergugu. Menimbang jawaban apa yang akan kuberikan. Pagi itu memang beda. Beberapa saat aku hanya diam setelah menjawab salam. 

" Ris, aku lagi gak bisa ketemu".

Hanya itu yang kemudian kuucapkan. Jawaban pendek yang sebenarnya berat kusampaikan karena bermakna menolak silaturahminya. Sekaligus untuk memberi gambaran kondisi yang sedang kualami. Sebuah jawaban pendek yang segera dapat dipahami pada masa pandemi. Ya, saat itu aku sedang isolasi mandiri. Semalam memang terkonfirmasi hasil swab PCR positif terpapar covid-19. 

Awalnya aku memang tidak berencana mengabarkan kondisi terpapar covid-19 ini kecuali kepada keluarga dan tetangga. Tetapi seakan dia tahu dan tiba-tiba saja sudah nongol di depan rumah. Termasuk menjadi yang awal mendapat kabar.

Segera untaian doa dan kalimat penguat meluncur dari seberang telepon. Aku semakin merasa bersalah ketika kutahu dia sengaja nggowes dari rumahnya di Jatibening, Bekasi ke rumahku di Maharaja, Depok. Sekitar 30 km dan tidak bisa bertemu. 

"Rapopo, yang penting kamu segera sembuh". 

Begitu jawabannya setiap kali merespon permohonan maafku. Tidak ada keluhan sama sekali. Tidak terdengar sesal. Tidak pula menganggapnya sebagai perjalanan yang sia-sia.  

Ya. Memang begitulah Aris Munandar. Seorang ahli silaturahmi. Teman-teman yang mengenalnya pasti tahu kebiasaan ini. Ringan kaki bertemu teman. Bahkan kadang tanpa memberi kabar dulu. Biar jadi surprise. Begitu alasannya. 

Aku sendiri dengan Aris sudah seperti saudara. Kenal sudah lebih dari 30 tahun, sejak kami sama-sama di SMP Al Islam Solo. Bahkan sama-sama nyantri di Jamsaren. Hampir 24 jam kami beraktifitas bersama. Kebersamaan yang melampaui sekadar pertemanan biasa. 

Setelah lulus SMP memang sempat putus kontak. Aris melanjutkan SMA di Bandung, ikut kakaknya yang tinggal di sana. Sampai kemudian hari itu ketika registrasi mahasiswa baru UGM kami kembali ketemu. Tanpa sengaja. Seakan perjumpaan yang sudah diatur. Sekejap kami sudah saling mengenal. Lebih dari 3 tahun tanpa kabar tidak membuat kami lupa satu sama lain. Meskipun berbeda jurusan kami satu fakultas. Sama-sama masuk FE UGM. 

Suasana kebersamaan seperti ketika di  Jamsaren terulang manakala kami tinggal di rumah yang sama. Kami memang sama-sama aktif di HMI Komisariat FE UGM. Beberapa tahun kami tinggal bersama di sekretariat. Bahkan setelah tidak tinggal di sekretariat tidak menjadi penghalang bagi seorang Aris untuk sering berlama-lama di sekretariat. Bahkan menginap. Untuk menyiapkan suatu kegiatan. Atau hanya untuk ngehik dan ngobrol sampai pagi. Lagi-lagi kebersamaan yang melampaui sekadar pertemanan biasa. 

Setelah lulus dan berkeluarga, kami masih sering ketemu. Bukan hanya di acara bersama seperti reuni. Juga ketemuan terbatas beberapa kawan saja. Bahkan kami saling mengunjungi. Bukan lagi silaturahmi teman tapi antar keluarga. Meskipun tetap saja frekuensi kunjungan Aris ke rumahku lebih banyak. 

Beberapa hari lalu gantian Aris yang terpapar covid-19. Setelah sekitar seminggu dirawat di RS karena tipes, tes swab PCR hasilnya positif covid-19. Istri dan anaknya lebih dahulu isolasi di rumah. Lebih dulu terpapar covid-19 meskipun tanpa gejala yang mengkhawatirkan. Tentu bukan keadaan yang mudah bagi keluarga Aris. 

Beberapa kali kami masih video call untuk memberikan dukungan. Aris mengeluh napasnya ngos-ngosan. Pengukuran saturasi oksigen turun jadi 84%. Dan perlu penanganan di RS dengan fasilitas perawatan covid-19 yang lebih memadai. 

Tidak mudah memang mencari RS rujukan di saat kasus covid-19 di Jabodetabek melonjak drastis. Syukurlah salah satu sahabat kami turun tangan memberikan bantuan. Seorang yang konsisten untuk turun tangan bukan hanya urun angan. Minggu malam, 20 Juni 2021 dapat dirawat di ruang ICU RSUD Cengkareng, Jakarta. 

Sejatinya sejak awal kedatangan, dokter sudah menyarankan untuk dipasang ventilator. Keluarga juga sudah menyetujui sebagai upaya terbaik. Sembari menunggu hasil upaya lain dari tim medis yang sangat berdidikasi. Aku mengira dengan pertimbangan kondisinya, malam itu ventilator sudah terpasang. 

Aku kaget ketika Selasa pagi, 22 Juni 2021 Aris mengajak video call beberapa teman. Bahkan dengan teman-teman yang lebih senior. Mengabarkan kondisinya yang sudah membaik. Dan minta disampaikan terimakasih kepada semua yang sudah memberikan support

Semua teman yang dihubungi Aris menceritakan wajah Aris terlihat lebih segar dan bersemangat. Aku sendiri sangat senang. Jika tidak jadi dipasang ventilator berarti memang kondisinya membaik. Kabarnya, saturasi oksigen juga sudah naik, 86-94% bahkan 95% jika sedang dalam kondisi tenang.

Tapi malamnya, kembali mendapat kabar jika selepas maghrib ventilator sudah dipasang. Kondisinya menurun. Ada harapan dan kegelisahan karena setelahnya tidak bisa lagi berkomunikasi langsung. Sehari tanpa kabar terasa begitu lama. Kami, teman-temannya menutupi kegelisahan dengan meyakini bahwa tidak ada kabar justru berarti kondisi Aris membaik. 

Rupanya kemarin menunda sehari memasang ventilator menjadi pilihanmu agar bisa berpamitan. Menjelang siang ini, Kamis 24 Juni 2021 sebuah kabar membuatku langsung gemetar. Aku tak kuasa menahan lelehan air mata ketika menceritakan kabar duka ini ke istri. Segera terbayang, kemarin kamu tampak lebih baik karena sedang berpesan bahwa kamu baik-baik saja dan ikhlas menerima semuanya. InsyaAllah ini jadi jalan syahidmu. 

Aku sempatkan mengantar sampai pemakaman meskipun tidak bisa terlalu mendekat. Di sini, di TPU Padurenan Bekasi. Sebisanya aku ingin mengantar kamu, orang baik yang sedang menghadap Dzat yang Maha Baik. 

Selamat jalan Ris. Kamu orang baik, ahli silaturahmi, dan banyak menolong teman. InsyaAllah kebaikanmu akan terus mengalirkan pahala. Melapangkan kuburmu, menerangi kuburmu, dan menjadikannya sebagai bagian dari taman surga. 

Read More

Mengunjungi Beranda Depan Indonesia di Pos Lintas Batas Motaain, Kabupaten Belu

Leave a Comment


Jangan remehkan pintu penghubung dua negara yang bertetangga. Wilayah perbatasan adalah wajah terluar yang langsung dilihat oleh negara tetangga. Belum lagi jika dinilai dari kepentingan strategisnya sebagai benteng terluar untuk menjaga kedaulatan wilayah.

Sejatinya, menempatkan wilayah perbatasan sebagai beranda depan bukan hanya tentang posisi strategisnya semata. Ini memang sebuah keharusan. Lebih dari itu di sanalah pesona keindahan alam yang luar biasa justru banyak ditemukan. Di sisi lain, secara sosial ekonomi biasanya masih merupakan wilayah tertinggal. Sudah sepantasnyalah jika perhatian diberikan kepada area perbatasan.

Kabupaten Belu menjadi kabupaten terluar usai wilayah di ujung Pulau Timor memisahkan diri menjadi Negara Timor Leste. Adalah referendum yang digelar pada 30 Agustus 1999 sebagai penanda keputusan warga negara telah diambil. Meskipun pahit, kenyataan itu sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah Indonesia. 

Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain di Kecamatan Tafeso Barat, Kabupaten Belu merupakan salah satu pintu penghubung wilayah Indonesia dan Timor Leste. Sempatkan untuk mengunjungi beranda depan Indonesia itu jika sedang berada di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Meskipun tidak ada rencana kegiatan di negara tetangga, tidak ada salahnya untuk sejenak melintas masuk ke wilayah yang dahulu merupakan salah satu provinsi di Indonesia itu. 

Pos lintas batas berjarak sekitar 30 km dari Kota Atambua sebagai ibukota Kabupaten Belu. Ada dua pilihan akses. Bisa melintasi perbukitan atau menyusuri pantai. Pilihan lewat perbukitan merupakan jalur Bandara AA Bere Tallo. Pilihan kedua lewat jl. Nasional Trans Timor memiliki jarak tempuh yang sedikit lebih jauh. Meskipun demikian, keduanya menawarkan kualitas jalan yang cukup baik. Keduanya juga menawarkan pemandangan indah yang tak membosankan selama perjalanan. 

Lokasi PLBN Motaain yang berada di wilayah pesisir menjanjikan keindahan alami. Tak jauh dari pos lintas batas itu, sebuah pantai berpasir putih dapat menjadi pilihan bersantai sejenak. Letaknya di tepi jalan nasional ketika memilih jalur menyusuri pantai dari Kota Atambua. Jika memilih lewat perbukitan atau berangkat dari bandara, sebelum sampai di pos lintas batas bisa belok sebentar ke pantai berpasir putih yang sangat dikenal masyarakat Kabupaten Belu. 

Masyarakat biasanya menyebut sebagai pantai Atapupu. Sungguh indah panorama yang ditawarkan. Pasir putihnya luas terbentang. Ombaknya lembut mengusap bibir pantai. Hutan bakaunya asri menghijau. Hilang sudah semua penat ketika bersantai di Pantai Atapupu. 

Puas menikmati keindahan Pantai Atapupu, saatnya melanjutkan perjalanan ke pos lintas batas. Dekat saja. Hanya sekitar 5 km lewat Jl. Nasional Trans Timor langsung sampai di salah satu beranda depan wilayah NKRI. Inilah PLBN Motaain yang tampak megah.

Arsitektur bangunan PLBN Motaain bukan hanya tampak megah, tetapi juga kaya nuansa lokal. Gerbang dan bangunannya mengadopsi arsitektur rumah adat masyarakat Belu. Atap bangunannya menjulang sebagaimana rumah adat NTT. Ornamen beberapa bangunan pun terinspirasi dari corak tenun setempat. Sangat layak menjadi kebanggaan masyarakat Belu dan setiap warga yang melintas pos lintas batas. 

Setelah memasuki gerbang yang sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan, tampak jika kawasan pos lintas batas ini cukup luas. Terlebih lagi penataaan kawasannya yang didominasi ruang terbuka dengan taman-taman yang terawat semakin memberi kesan luas dan asri. 

Gedung utama berupa bangunan 2 lantai yang tetap bercirikan rumah adat NTT. Dipergunakan sebagai fasilitas keimigrasian, bea cukai, dan sarana penunjang lainnya. Selain jalur untuk kendaraan, di sepanjang jalan menuju batas negara juga tersedia pedestrian bagi pejalan kaki. 

Bagi yang hanya akan berkunjung sejenak melintas perbatasan, bisa dengan melapor kepada petugas. Cukup menyampaikan maksud dan diminta meninggalkan KTP. Petugas akan memberikan tanda pengenal sebagai "TAMU". Karena tidak diperkenankan membawa kendaraan, pilihannya adalah menyusuri jalur pedestrian sampai pos perbatasan Timor Leste. Jarak pos perbatasan kedua negara sepertinya hampir 500 m. Masih terjangkau untuk ditempuh dengan jalan kaki.  


Kedua negara dipisahkan oleh jembatan yang di bawahnya mengalir sungai menuju laut. Pendek saja jarak jembatan sampai muara karena letaknya yang di pesisir. Bangunan ikonik yang menandai perbatasan itu berupa sebuah jembatan dengan bentuk rangka besi melengkung dan dicat  warna perak. Sebuah tulisan berukuran cukup besar terpampang di jembatan itu sebagai ucapan selamat datang: "Bem Vindo A - Welcome to Timor Leste". 


Tidak begitu jauh dari ujung jembatan, terlihat pos lintas batas Negara Timor Leste. Tak perlu ragu untuk singgah barang sejenak, masuk ke wilayah negara tetangga itu. Para penjaga di wilayah Timor Leste biasanya masih bisa diajak ngobrol menggunakan Bahasa Indonesia. Ya, karena awalnya negara tetangga ini memang satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa sebagai Provinsi Timor Timur.


Renungkanlah betapa ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial merupakan ancaman nyata terhadap keutuhan NKRI.

#IngatanPerjalanan 05032018

Read More

Masak Sih, Saya Bisa Terpapar Covid-19...?

4 comments

Photo by: Anas Noor Barky (Masjid Baitul Iman Depok Maharaja) 

Semua akan covid pada waktunya. Begitulah yang diungkapkan seorang teman di sebuah group medsos. Tentu saja ini bukan harapan. Apalagi doa. Sekadar satire melihat tingkat disiplin masyarakat terhadap protokol kesehatan yang rendah. 

Qadarullah...datang juga waktunya bagi saya untuk terpapar covid-19. Meskipun sekuat tenaga berusaha menerapkan protokol kesehatan, akhirnya terpapar juga oleh virus yang telah membuat heboh umat manusia sejagat ini. 

Awal Mula Terpapar

Sebenarnya gak yakin juga dari mana awal mula terpapar covid-19. Bisa jadi interaksi di tempat kerja, dengan teman yang belakangan memang hasil swab PCR-nya positif. Interaksi itu memang terjadi tidak sepenuhnya mematuhi kaidah jarak dan ventilasi di masa pandemi. Memang tidak terlalu lama. Kami bepergian menggunakan mobil dengan jendela yang tertutup karena mengaktifkan AC. Meskipun saat itu kami senantiasa memakai masker. 

Pada saat interaksi itu kondisi badan juga sedang kurang fit karena semalam kurang tidur. Sudah begitu, hari ini malah telat makan siang. Barulah setelah selesai aktifitas, makan siang mundur sampai menjelang ashar. 

Secara kebetulan juga, dalam seminggu ini untuk kedua kalinya saya tidak membawa bekal dan makan di warung makan. Padahal sudah berbulan-bulan sejak pandemi selalu membawa bekal dari rumah dan makan siang di meja kerja. Lebih merasa nyaman. Dan bisa menjaga agar tidak telat makan siang. Hari ini, kembali saya membuka masker di tempat umum. Tentu sambil ngobrol ketika makan. 

Lucunya, belakangan saya tahu jika mobil yang kami pakai saat itu sebelumnya dipakai oleh teman lain yang beberapa hari lalu sudah terkonfirmasi positif. Lengkap sudah risiko keterpaparan covid-19. 

Barangkali memang kombinasi hal-hal di atas yang menjadi awal terpapar covid-19. Interaksi, protokol kesehatan, dan stamina. Entah yang mana yang jadi pintu masuk virus ke tubuh. Pergerakan virus ini memang tidak terlihat. Sulit untuk memastikan dari mana awal mula terpapar covid-19. Nyatanya, teman lain yang saat itu juga semobil hasil swab PCR-nya negatif dan tidak merasakan gejala sama sekali. 

Jangan Abaikan Gejala

Tanggal 25/12/20 saya melakukan swab PCR. Tracking karena ada teman di kantor yang terkonfirmasi positif. Hasilnya negatif covid-19. 

Akan tetapi, tanggal 27/12/20 saya justru mulai merasakan demam, nyeri otot, dan iritasi mata. Mirip seperti gejala masuk angin. Awalnya gak menduga jika ini gejala covid-19. Seperti biasanya minta dipijat istri. Setelahnya, dibalur minyak gosok kemudian tidur berselimut. 

Ketika bangun memang terasa lebih enteng. Tetapi justru muncul kekhawatiran setelah mendapat kabar jika salah satu teman kantor yang semobil dan sama-sama swab PCR tanggal 25/12/20 terkonfirmasi positif covid-19. Malamnya langsung ambil keputusan untuk isolasi sendiri di kamar. Masker juga dipakai ketika harus berinteraksi dengan keluarga. Dan minta untuk dilakukan swab PCR lagi. 

Benar juga. Hasil tes swab tanggal 30/12/20 saya positif covid-19. Setelah lebih dari sepuluh kali melakukan tes, akhirnya saya terpapar juga. Terlambat sehari menyadari hal inilah barangkali yang menjadi sebab istri saya turut terpapar. Setelah sebelumnya hasil swab antigen hasilnya reaktif, tes swab PCR istri tanggal 2/1/2021 hasilnya juga positif.

Oh ya, pada saat swab tanggal 30/12/20 itu gejala yang saya alami justru sudah menurun. Bahkan bisa dikatakan sudah tidak ada gejala lagi. Begitu mencurigai jika sedang terpapar covid-19, selain paracetamol untuk menurunkan demam saya juga minum banyak suplemen. Vitamin C, madu, habatussaudah, dan minum godogan jahe, sereh, kayu manis mulai rutin saya konsumsi.

Sebenarnya, bisa saja saya mengabaikan dan tidak melakukan swab PCR. Sekadar menganggapnya sebagai masuk angin biasa. Toh tes PCR tanggal 25/12/20 hasilnya negatif. Lagipula gejala demam dan nyeri otot ini hanya terjadi 3 hari. Terlebih gejala yang dialami istri saya yang jauh lebih ringan. Hanya sakit kepala dan rasa tidak nyaman dihidung seperti mau pilek. Itu pun dialami hanya sehari (31/12/2020). Sangat bisa mengabaikannya.

Akan tetapi kesadaran akan pendemi covid-19 ini mendorong saya untuk melakukan swab ulang. Juga untuk keluarga saya yang pasti berkontak erat. Dan ternyata istri yang hanya memiliki gejala lebih ringan hasilnya juga positif.

Bayangkan potensi penularan yang bisa terjadi jika kami mengabaikan gejala itu. Berapa banyak orang yang akan berkontak ketika saya masih pergi ke kantor, ke masjid, atau ke area publik lainnya. Beruntung, saya sendiri sudah membatasi melakukan kegiatan di luar rumah sejak 26/12/2020. Begitulah yang biasa saya lakukan ketika menunggu hasil beberapa kali tes swab PCR. Termasuk setelah swab tanggal 25/12/2020 dan swab-swab sebelumnya. 

Bagi yang bergejala ringan seperti kami, terpapar covid-19 bisa dikatakan tidak terlalu mengkhawatirkan. Gejala covid-19 memang beragam. Umumnya demam, nyeri otot, sakit kepala, batuk, hilang indera perasa dan penciuman, hingga terjadi sesak nafas. Masing-masing orang bisa muncul gejala yang berbeda-beda dengan tingkat keparahan yang juga berbeda-beda pula. 

Beberapa orang, yang biasanya memiliki komorbid atau riwayat sakit penyerta memang bisa bergejala lebih serius. Bahkan hingga terjadi gangguan pernapasan yang perlu dibantu ventilator. Perlu penanganan dokter di RS secara lebih intensif. Data juga mencatat ribuan orang yang tidak tertolong setelah terpapar covid-19.

Bagi yang bergejala ringan, kondisinya tampak seperti orang yang sehat saja. Akan tetapi, karena sudah terpapar covid-19 justru berpotensi menyakiti orang-orang di sekitar. Virus ini begitu mudah menyebar dan menular. Itulah kenapa harus ada kesadaran jika terkonfirmasi positif covid-19 atau melakukan kontak erat dengan orang yang positif covid-19 perlu untuk isolasi. Agar dampak penyebarannya semakin terkendali. 

Abai terhadap gejala ringan memang berpotensi menyebarkan covid-19. Yang lebih susah memang jika ada yang terpapar akan tetapi tanpa gejala sama sekali. Tidak menyadari jika dapat menyebarkan covid-19. Mungkin juga ini salah satu yang menyebabkan penyebaran covid-19 tidak mudah diatasi. 

Bagi kami, gejala ringan yang kami alami membuat lebih peduli. Kami punya potensi menyakiti orang lain jika tidak melakukan isolasi. Meskipun tidak merasakan sakit, kami melakukan isolasi agar tidak menularkan virus ini ke orang lain. Agar tidak menyakiti orang lain. 

Hikmah yang lain, dari terpapar covid-19 yang menimbulkan gejala ringan ini kami bisa lebih bersyukur masih diberi nikmat sehat. Semoga tidak ada komorbid. Sebuah kondisi yang perlu dijaga. Jika selama ini tidak begitu perhatian terhadap pola hidup sehat, sudah seharusnya ke depan lebih serius memperhatikanya. 

Isolasi di Mana?

Isolasi. inilah yang harus kami lakukan ketika terpapar covid-19 dan hanya bergejala ringan atau tanpa gejala. Kondisi terpapar covid-19 yang tidak memerlukan perawatan di RS. Tujuannya untuk pengendalian agar virus ini tidak semakin menyebar. Bagaimanapun, di tubuh kami telah berkembang biak virus yang menular dan bagi beberapa orang yang tertular bisa berakibat lebih serius.

Awalnya saya isolasi di rumah saja. Meskipun menempati kamar terpisah yang memiliki toilet sendiri, saya tetap merasa kurang nyaman. Tidak bisa sepenuhnya menghindari interaksi dengan keluarga. Kegiatan berjemur misalnya, perlu melintas ruang keluarga untuk mencapai pintu ke luar. Ada anak-anak kami yang perlu dijaga agar tidak terpapar. 

Oleh karena itu, difasilitasi pengurus RT dan Satgas Covid-19 RW, saya menghubungi Puskesmas agar diberikan rujukan untuk isolasi di Wisma Makara UI. Ya, di sini memang disediakan sebagai tempat isolasi bagi warga Depok yang terpapar covid-19 dengan gejala ringan atau tanpa gejala. 

Tentu ada persyaratannya. Pertama, memang terpapar covid-19 yang dibuktikan dengan hasil positif pada tes swab PCR. Meskipun terkonfirmasi positif, yang bersangkutan harus dalam kondisi tidak mempunyai gejala yang perlu perawatan di RS. Kedua, mendapat rujukan dari Puskesmas dimana yang bersangkutan berdomisili. Ketiga, di Wisma Makara UI sedang tersedia kamar. Memang tidak bisa dipastikan pasti tersedia. Jika ada yang selesai isolasi, warga lain segera masuk menggantikan. Silih berganti antara yang selesai dan mulai isolasi. 

Alhamdulillah, proses pengurusan rujukan dari Puskesmas Rangkapan Jaya Baru, Depok sangat lancar. Sehari sudah saya dapatkan. Kebetulan hari itu di Wisma Makara UI juga sedang tersedia kamar. Bahkan ketika 3 hari kemudian istri menyusul ke Wisma Makara UI, kami dapat tinggal sekamar. Saya jadi punya jawaban yang pas ketika ada saudara, tetangga, atau teman yang menanyakan kabar: 

"Alhamdulillah....saat ini kami sedang honeymoon".

Selain pertimbangan mengurangi risiko keterpaparan ke anak-anak kami, sengaja memilih isolasi di Wisma Makara UI karena setiap hari tersedia pemeriksaan kesehatan secara rutin. Bagaimanapun, mengingat usia yang sudah melebihi setengah abad ini ada kekhawatiran jika tiba-tiba gejala makin berat. Beberapa kejadian menunjukkan betapa tak terduga dampak terpapar covid-19. Ada yang semula bergejala ringan, tiba-tiba berubah menjadi berat. Bahkan perlu perawatan intensif di RS. 

Alhamdulillah, selama isolasi di Wisma Makara UI tidak ada gejala yang mengkhawatirkan. Hanya tiga kali suhu tubuh naik lebih dari 37,5⁰C. Akan tetapi segera turun setelah minum paracetamol dan istirahat cukup. Saturasi oksigen juga tidak pernah di bawah 97%. Selama isolasi ini berbagai vitamin, madu, probiotik, habatussaudah, dan bubuk kayu India (qustul hindi) rutin saya konsumsi sebagai bagian ikhtiar penyembuhan.

Oh ya, kalau banyak yang mengalami gejala kehilangan indera perasa, saya beda. Setiap kali makan, beberapa hari saya malah merasa masakan yang disajikan terlalu asin. Untunglah tidak sampai mengganggu selera makan. Indera penciuman juga masih berfungsi dengan baik tanpa gangguan. 

Selebihnya, saya menjalani isolasi dengan nyaman. Selain pemeriksaan kesehatan, setiap hari juga disediakan 3 kali makan dan snack. Ada juga fasilitas laundry 3 kali seminggu yang menambah kenyamanan bagi yang sedang isolasi. Sangat lengkap fasilitas yang disediakan selama isolasi di Wisma Makara UI. Bisa fokus untuk mengembalikan stamina dan mental yang drop. 

Senam kebugaran dijadwal 3 kali seminggu untuk mempercepat pemulihan stamina. Seru juga. Kami melakukan senam di koridor lantai 2, 3, dan 4 mengikuti gerakan instruktur yang berada di taman lantai dasar. 

Kamar yang disediakan di Wisma Makara UI memang hanya yang di lantai 2, 3, dan 4. Kami tidak diperbolehkan turun ke lantai dasar. Setiap lantai ada 20 kamar yang masing-masing dapat ditempati 2 orang. Berarti kapasitas total jadi 120 orang tamu. Begitu manajemen Wisma Makara UI menyebut kami yang sedang isolasi. Kami memang bukan pasien karena di sini memang bukan RS. Setiap hari silih berganti, ada yang keluar karena selesai isolasi ada juga yang masuk untuk memulai isolasi. Puskesmas hanya akan memberikan rujukan jika di Wisma Makara UI memang sedang tersedia kamar. 

Selesai Isolasi: Apakah kami sudah sehat kembali? 

Tata laksana isolasi diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan KMK.HK.01.7/MENKES/No. 413/2020. Bagi yang terpapar covid-19 dengan gejala ringan, berdasar beberapa riset terpercaya dapat dinyatakan sehat kembali setelah menjalani isolasi selama 10 hari. Jika masih ada gejala ringan, isolasi akan ditambah 3 hari untuk memastikannya. 

Itulah kenapa pada 12/1/2021, berdasar catatan pemeriksaan kesehatan rutin, kami dinyatakan selesai isolasi. Tidak ada keluhan dan gejala covid-19 yang kami alami lagi. 

Sebenarnya saya sudah dapat mengakhiri isolasi dan dinyatakan sehat pada 9/1/2021. Akan tetapi karena istri yang tes swab belakangan menyusul isolasi di Wisma Makara UI, saya minta ijin dokter penanggung jawab agar dapat menemani hingga jadwal istri selesai isolasi.

Kebijakan menyelesaikan isolasi tanpa tes swab memang bisa menimbulkan tanya. Benarkah sudah tidak ada virus corona di tubuh kami? Hasil penelitian yang dirujuk WHO dan Kementerian Kesehatan memang menemukan keterbatasan hasil tes swab PCR sebagai penentu selesai isolasi. Tes swab PCR dengan hasil positif tidak selalu menandakan virus Corona masih aktif. Bisa saja tes PCR tersebut mendeteksi virus yang sudah mati, karena sistem kekebalan tubuh sudah mampu mengendalikannya. Materi virus bahkan yang sudah mati dan tidak memiliki kemampuan menular itu masih dapat terdeteksi bahkan hingga 3 bulan setelah terinveksi. Artinya, selama itu hasil tes swab PCR akan tetap positif. 

Padahal antibodi atau kekebalan tubuh terhadap virus Corona biasanya terbentuk dalam 5–10 hari setelah terinfeksi. Ini artinya, risiko penularan dari pasien yang sudah selesai menjalani isolasi selama minimal 10 hari akan sangat kecil. Meskipun hasil tes PCR-nya masih positif. Itulah mengapa ditetapkan kebijakan selesai isolasi tanpa perlu tes swab PCR setelahnya. 

Oh ya, saya sendiri meskipun sudah menjalani isolasi dan mendapat surat keterangan selesai isolasi dari dokter penanggung jawab isolasi, tetap melalukan tes swab PCR. Kebijakan di tempat kerja masih mensyaratkan dua kali hasil tes swab PCR negatif untuk kembali beraktifitas di kantor. Saya berusaha santai saja setelah hari ke-15 memaksakan tes dan hasilnya masih positif. Tidak terburu-buru melakukan tes swab PCR lagi. Toh sekarang memang sedang lebih banyak work from home. Barulah pada hari ke-29 saya mendapatkan hasil tes PCR negatif yang kedua. 

Sejatinya bagi penyintas atau orang yang pernah terpapar covid-19 di tubuhnya telah terbentuk antibodi sebagai respon melawan keberadaan virus. Selain mengurangi risiko terpapar ulang, keberadaan antibodi itu juga bermanfaat bagi penderita covid-19 lain yang memiliki gejala berat.

Inilah "harta" berharga yang dimiliki para penyintas. Sayangnya sampai 3 bulan setelah dinyatakan negatif saya belum dapat melakukan donor plasma konvalesen. Meskipun sudah mendaftar di aplikasi Akdoplak maupun PMI Kota Depok, belum ada kesempatan untuk menjadi pendonor plasma konvalesen. 

Sayang memang tidak dapat memberikan manfaat lebih sebagai seorang penyintas covid-19. 

Semoga kita semua tetap sehat dan pandemi ini segera berlalu. 

Read More

Mengagumi Warisan Budaya Minangkabau di Saribu Rumah Gadang, Solok Selatan

Leave a Comment

Lengkap benar potensi wisata Kabupaten Solok Selatan. Betapa tidak. Daerahnya didominasi bentang alam yang indah, segar menghijau dengan latar Gunung Kerinci. Hamparan kebun teh, areal persawahan yang luas, puluhan aliran sungai yang berkelok menuruni bukit, dan hutan adat yang menyambung sampai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Menyejukkan mata dan menjamin kesegaran udara. Indah bak lukisan.


Bukan hanya itu. Seperti halnya wilayah lain di Sumatera Barat, Kabupaten Solok Selatan mewarisi kekayaan budaya Minangkabau. Kabupaten Solok Selatan  terlihat sangat sadar akan potensi warisan budaya itu. Kehadiran Kawasan Saribu Rumah Gadang menjadi penyempurna destinasi wisata Kabupaten Solok Selatan yang didominasi keindahan panorama alam. Sungguh perpaduan keindahan alam dan kekayaan budaya yang harmonis.

Kawasan Saribu Rumah Gadang berlokasi di Nagari Muarolabuh, Kecamatan Sungai Pagu. Jika ditempuh dari Kota Padang, dapat dijumpai selepas perjalanan melewati Danau Kembar dan sebelum sampai Kota Padang Aro, pusat pemerintahan Kabupaten Solok Selatan.


Memasuki kawasan Saribu Rumah Gadang, deretan rumah dengan bentuk atapnya yang khas menyambut kedatangan. Rumah-rumah itu sudah berusia ratusan tahun. Tentu saja beberapa di antaranya sudah mengalami pemugaran, tetapi ciri dan bentuk khasnya tetap dipertahankan. Bahkan, revitalisasi rumah gadang itu telah menjadi program nasional sejak diresmikan Presiden Jokowi awal tahun lalu.


Susurilah kawasan Saribu Rumah Gadang untuk menikmati keunikan dan keindahan arsitektur ratusan rumah gadang itu. Ratusan? Ya, jumlah rumah gadang di kawasan ini memang "hanya" sekitar 130 buah. Penyebutan saribu atau seribu, tampaknya untuk mewakili jumlahnya yang banyak, terkumpul dalam satu kawasan. Tetapi barangkali jika dihitung secara keseluruhan, di Kabupaten Solok Selatan bisa jadi memang ada ribuan rumah gadang. Di sepanjang jalan yang dilalui memang mudah ditemukan bangunan  rumah gadang. Salah satunya, masih di Kecamatan Sungai Pagu, di pinggir jalan utama dapat dijumpai sebuah rumah gadang berukuran cukup besar, Istano Rajo Balun.


Bukan hanya ukurannya yang bervariasi. Jika diamati lebih detail, meskipun memiliki persamaan atap yang memanjang meruncing seperti tanduk kerbau, ada perbedaan bentuk di antara rumah gadang-rumah gadang itu. Perbedaan  tersebut karena rumah gadang itu konon dulunya dibangun dan ditinggali oleh suku yang berbeda.

Salah satunya, yang sepertinya menjadi ikon Kawasan Saribu Rumah Gadang adalah Rumah Gadang Gajah Maram, yang dibangun pada tahun 1794. Sesuai penjelasan di papan informasi, Rumah gadang ini adalah Rumah Gadang Kaum Suku Melayu Buah Anau yang dipimpin oleh Rapun Datuak Lelo Panjang yang membawahi suku kaum melayu.



Mintalah ijin untuk masuk  ke dalam Rumah Gadang Gajah Maram yang akan disambut dengan senang hati oleh pengelola yang saat ini dipegang keturunan ke-5 Datuak Lelo Panjang. Bentuk ruangan masih dipertahankan, bahkan tiang-tiang penyangga juga masih asli sejak dibangun. Kekuatan dan ketahanan kayu yang biasa disebut  sebagai kayu besi itu memang luar biasa. Menurut salah satu pengelola, bahkan paku pun tak bisa menembus kekuatan kayu penyangga tersebut. Sejumlah benda pusaka warisan leluhur juga masih tersimpan dengan baik, melengkapi cerita sejarah pendirian rumah gadang ini. Rumah Gadang Gajah Maram, sat ini tidak ditinggali dan hanya digunakan untuk upacara adat saja.


Jika pengin lebih puas, menginap di Kawasan Saribu Rumah Gadang jadi pilihan tepat. Beberapa rumah gadang itu memang telah difungsikan sebagai homestay dengan tarif terjangkau. Tentu saja tidak melupakan pelayanan untuk kenyamanan. Lebih dari sekadar menginap, tinggal di homestay dapat ikut terlibat mengolah masakan tradisonal minang bersama tuan rumah. Tinggal lebih lama juga memungkinkan untuk mendengar cerita asal mula setiap rumah gadang itu dibangun. Sungguh akan menjadi pengalaman dan pengetahuan sejarah yang sangat berharga.


#ingatanperjalanan, 21052018
Read More