Tentang Blog

Catatan ringan hasil mengumpulkan kembali ingatan tentang perjalanan yang telah dilalui. Bukan dimaksudkan untuk memberikan panduan perjalanan, hanya sebagai testimoni betapa mengagumkan negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.

author
Tampilkan postingan dengan label Wisata Nusa Tenggara Timur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata Nusa Tenggara Timur. Tampilkan semua postingan

Mengunjungi Beranda Depan Indonesia di Pos Lintas Batas Motaain, Kabupaten Belu

Leave a Comment


Jangan remehkan pintu penghubung dua negara yang bertetangga. Wilayah perbatasan adalah wajah terluar yang langsung dilihat oleh negara tetangga. Belum lagi jika dinilai dari kepentingan strategisnya sebagai benteng terluar untuk menjaga kedaulatan wilayah.

Sejatinya, menempatkan wilayah perbatasan sebagai beranda depan bukan hanya tentang posisi strategisnya semata. Ini memang sebuah keharusan. Lebih dari itu di sanalah pesona keindahan alam yang luar biasa justru banyak ditemukan. Di sisi lain, secara sosial ekonomi biasanya masih merupakan wilayah tertinggal. Sudah sepantasnyalah jika perhatian diberikan kepada area perbatasan.

Kabupaten Belu menjadi kabupaten terluar usai wilayah di ujung Pulau Timor memisahkan diri menjadi Negara Timor Leste. Adalah referendum yang digelar pada 30 Agustus 1999 sebagai penanda keputusan warga negara telah diambil. Meskipun pahit, kenyataan itu sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah Indonesia. 

Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain di Kecamatan Tafeso Barat, Kabupaten Belu merupakan salah satu pintu penghubung wilayah Indonesia dan Timor Leste. Sempatkan untuk mengunjungi beranda depan Indonesia itu jika sedang berada di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Meskipun tidak ada rencana kegiatan di negara tetangga, tidak ada salahnya untuk sejenak melintas masuk ke wilayah yang dahulu merupakan salah satu provinsi di Indonesia itu. 

Pos lintas batas berjarak sekitar 30 km dari Kota Atambua sebagai ibukota Kabupaten Belu. Ada dua pilihan akses. Bisa melintasi perbukitan atau menyusuri pantai. Pilihan lewat perbukitan merupakan jalur Bandara AA Bere Tallo. Pilihan kedua lewat jl. Nasional Trans Timor memiliki jarak tempuh yang sedikit lebih jauh. Meskipun demikian, keduanya menawarkan kualitas jalan yang cukup baik. Keduanya juga menawarkan pemandangan indah yang tak membosankan selama perjalanan. 

Lokasi PLBN Motaain yang berada di wilayah pesisir menjanjikan keindahan alami. Tak jauh dari pos lintas batas itu, sebuah pantai berpasir putih dapat menjadi pilihan bersantai sejenak. Letaknya di tepi jalan nasional ketika memilih jalur menyusuri pantai dari Kota Atambua. Jika memilih lewat perbukitan atau berangkat dari bandara, sebelum sampai di pos lintas batas bisa belok sebentar ke pantai berpasir putih yang sangat dikenal masyarakat Kabupaten Belu. 

Masyarakat biasanya menyebut sebagai pantai Atapupu. Sungguh indah panorama yang ditawarkan. Pasir putihnya luas terbentang. Ombaknya lembut mengusap bibir pantai. Hutan bakaunya asri menghijau. Hilang sudah semua penat ketika bersantai di Pantai Atapupu. 

Puas menikmati keindahan Pantai Atapupu, saatnya melanjutkan perjalanan ke pos lintas batas. Dekat saja. Hanya sekitar 5 km lewat Jl. Nasional Trans Timor langsung sampai di salah satu beranda depan wilayah NKRI. Inilah PLBN Motaain yang tampak megah.

Arsitektur bangunan PLBN Motaain bukan hanya tampak megah, tetapi juga kaya nuansa lokal. Gerbang dan bangunannya mengadopsi arsitektur rumah adat masyarakat Belu. Atap bangunannya menjulang sebagaimana rumah adat NTT. Ornamen beberapa bangunan pun terinspirasi dari corak tenun setempat. Sangat layak menjadi kebanggaan masyarakat Belu dan setiap warga yang melintas pos lintas batas. 

Setelah memasuki gerbang yang sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan, tampak jika kawasan pos lintas batas ini cukup luas. Terlebih lagi penataaan kawasannya yang didominasi ruang terbuka dengan taman-taman yang terawat semakin memberi kesan luas dan asri. 

Gedung utama berupa bangunan 2 lantai yang tetap bercirikan rumah adat NTT. Dipergunakan sebagai fasilitas keimigrasian, bea cukai, dan sarana penunjang lainnya. Selain jalur untuk kendaraan, di sepanjang jalan menuju batas negara juga tersedia pedestrian bagi pejalan kaki. 

Bagi yang hanya akan berkunjung sejenak melintas perbatasan, bisa dengan melapor kepada petugas. Cukup menyampaikan maksud dan diminta meninggalkan KTP. Petugas akan memberikan tanda pengenal sebagai "TAMU". Karena tidak diperkenankan membawa kendaraan, pilihannya adalah menyusuri jalur pedestrian sampai pos perbatasan Timor Leste. Jarak pos perbatasan kedua negara sepertinya hampir 500 m. Masih terjangkau untuk ditempuh dengan jalan kaki.  


Kedua negara dipisahkan oleh jembatan yang di bawahnya mengalir sungai menuju laut. Pendek saja jarak jembatan sampai muara karena letaknya yang di pesisir. Bangunan ikonik yang menandai perbatasan itu berupa sebuah jembatan dengan bentuk rangka besi melengkung dan dicat  warna perak. Sebuah tulisan berukuran cukup besar terpampang di jembatan itu sebagai ucapan selamat datang: "Bem Vindo A - Welcome to Timor Leste". 


Tidak begitu jauh dari ujung jembatan, terlihat pos lintas batas Negara Timor Leste. Tak perlu ragu untuk singgah barang sejenak, masuk ke wilayah negara tetangga itu. Para penjaga di wilayah Timor Leste biasanya masih bisa diajak ngobrol menggunakan Bahasa Indonesia. Ya, karena awalnya negara tetangga ini memang satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa sebagai Provinsi Timor Timur.


Renungkanlah betapa ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial merupakan ancaman nyata terhadap keutuhan NKRI.

#IngatanPerjalanan 05032018

Read More

Menggapai Kearifan di Negeri Atas Awan Wae Rebo, Manggarai

1 comment

Keberadaan Desa Wae Rebo sudah terdengar hingga manca negara. Padahal desa adat itu berada di ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Menjangkaunya pun butuh usaha keras, mendaki gunung dan menuruni lembah dengan berjalan kaki sekitar 3 jam.

Sempatkan untuk merasakan pengalaman sensasional berkunjung ke Wae Rebo jika sedang berada di Pulau Flores, NTT. Jika memungkinkan, sempatkan untuk bermalam di sana. Akses paling dekat jika sudah berada di Ruteng sebagai pusat Pemerintahan Kabupaten Manggarai. Hanya butuh 2-3 jam perjalanan menuju Denge, desa terakhir sebelum pendakian. Jika dari Labuan Bajo ibukota Kabupaten Manggarai Barat ataupun kota Borong sebagai pusat Kabupaten Manggarai Timur, butuh 5-6  jam perjalanan.

Sebelum memasuki Desa Denge, perjalanan akan menyusuri kawasan perbukitan, hamparan persawahan, dan pesisir pantai sisi selatan Pulau Flores. Salah satu spot menarik adalah Pulau Mules yang terkenal dengan keindahannya. Jika punya cukup waktu sempatkan untuk menyeberang ke pulau yang bentuknya mirip gadis yang sedang tertidur itu. Oh ya, jika dari Labuan Bajo alternatif ke Denge bisa juga ditempuh dengan menyewa speed boot.

Aturlah perjalanan agar bisa sampai di Denge sebelum malam. Pendakian di siang hari, selain dapat menikmati keindahan panorama juga lebih aman karena jalur pendakian cukup sulit. Akan tetapi, jika terpaksa melakukan pendakian di waktu malam akan memberikan pengalaman yang tak kalah menantang. Seperti hari ini, setelah menyelesaikan kegiatan di Borong, keinginan untuk mengunjungi desa adat yang mendunia itu tak tertahankan lagi. Segera meluncur, dan menjelang maghrib baru sampai di Denge.

Pak Martinus, pemilik penginapan di Denge menyarankan agar menunda pendakian sampai esok hari. Memperhitungkan waktu yang tersedia dan karena malam ini bakal terjadi gerhana bulan total, tekad membulat untuk tetap mendaki Wae Rebo. Syaratnya, harus ada pemandu yang bersedia mendampingi pendakian.

Sesuai saran driver mobil yang kami sewa, mencoba peruntungan dengan meneruskan perjalanan sampai ujung desa. Tepat sekali saran itu. Di belakang, beberapa motor mengikuti sampai jembatan yang menjadi batas aksesibilitas mobil. Mereka adalah warga sekitar yang memang  sudah terbiasa mengantar ke Wae Rebo. Negosiasi segera digelar. Satu orang bersedia memandu pendakian, dan untuk menghemat waktu, perjalanan ke Pos 1 yang menjadi gerbang pendakian ditempuh dengan menggunakan ojek. Di batas yang masih memungkinkan ditempuh dengan kendaraan roda dua.


Perjalanan sesungguhnya baru dimulai dari Pos 1 menuju Pos 2. Medan terjal langsung menghadang, menguji ketahanan stamina. Harus pintar-pintar mengatur ritme perjalanan dan pernapasan. Diselingi beberapa kali istirahat dan mengatur nafas yang tersengal, pendakian bergegas dilanjutkan. Terlebih lagi awan hitam mengiringi pendakian, bayang-bayang hujan mengintai setiap saat.

Sayang, bulan purnama tak sekejap pun menampakkan sinarnya. Sepanjang jalur hanya kegelapan, menyusuri punggung gunung menembus kelebatan hutan. Senantiasa hati-hati dan waspada, selain licin, jalur yang hanya muat satu orang itu diapit tebing dan jurang di sisi-sisinya. Tanpa sadar, beberapa ekor lintah sudah menempel di kaki.

Ikuti selalu petunjuk pemandu untuk kelancaran pendakian. Oh ya, senter menjadi perlengkapan wajib untuk pendakian malam. Jika mendaki di musim hujan, siapkan juga jas hujan untuk berjaga-jaga. Satu hal lagi, gunakan sepatu atau alas kaki yang memang diperuntukkan untuk mendaki gunung karena medan yang cukup berat.



Setelah perjalanan sekitar 1 jam, sampailah di Pos 2. Tidak ada bangunan layaknya sebuah pos. Hanya bagian dari jalur pendakian yang ditandai dengan pagar besi sebagai pembatas di sisi jurang dan tebing di sisi lainnya. Dari ketinggian itu, dapat disaksikan kampung Denge terlihat dari lampu-lampu yang terpancar dari rumah penduduk. Tak disangka, justru di sini sinyal telepon dapat tertangkap.

Setelah istirahat sejenak, perjalanan dilanjut menuju Pos 3. Jalur mendaki yang cukup terjal masih menjadi tantangan. Untunglah tidak terlalu lama, hanya sekitar 300 meter jalur pendakian, selanjutnya mulai melandai. Sekitar 1 jam perjalanan terlihat bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Itulah Pos 3 jalur pendakian ke Wae Rebo. 


Dari Pos 3, kampung Wae Rebo sudah terlihat. Jangan buru-buru melanjutkan perjalanan. Pemandu akan memukul kentongan sebagai pertanda kehadiran tamu. Jika dari kampung ada balasan, maka berarti ijin untuk masuk ke Wae Rebo sudah diberikan. Jika tidak ada balasan, misalkan kedatangan sudah terlalu larut malam, maka tamu harus menginap di Pos 3 menunggu pagi.

Berbeda dari perjalanan sebelumnya,  dari Pos 3 menuju kampung Wae Rebo justru menuruni lembah. Jalur tanah yang basah selepas hujan menuntut kehati-hatian karena cukup licin. Manfaatkan rerumputan dan pohon yang tumbuh di pinggir jalur untuk menjaga keseimbangan supaya tidak tergelincir.


Sesampai di Wae Rebo, sebagai bentuk penerimaan, setiap tamu akan dipersilahkan masuk terlebih dahulu ke rumah ketua adat. Di bangunan rumah terbesar ini, beberapa warga sudah berkumpul. Tabuhan gamelan khas Wae Rebo menyambut kedatangan. Selanjutnya, setelah para tamu dipersilahkan ikut duduk bersila, acara tradisi penerimaan tamu pun digelar. Sejalan dengan kepercayaan masyarakat setempat, kedatangan tamu harus disampaikan kepada para leluhur. Menggunakan bahasa Manggarai, tetua adat dengan suara cukup keras menyampaikan kepada para leluhur tentang identitas tamu, asal tempat tinggal, maksud kedatangan dan sekaligus dinyatakan sebagai warga Wae Rebo, bukan lagi sebagai tamu dari jauh.

Sebelum upacara adat itu, tamu tak diperkenankan beraktifitas termasuk mengambil foto untuk mengabadikan keindahan Wae Rebo. Sebagai welcome drink, kopi hitam yang diolah dari hasil kebun warga Wae Rebo menjadi sajian nikmat, mengembalikan semangat yang terkuras sepanjang perjalanan.

Jangan pusingkan akomodasi dan konsumsi selama di Wae Rebo. Pada saat upacara adat, para tamu akan diminta keikhlasan untuk menyerahkan Rp. 350.000,00 untuk yang menginap dan Rp. 250.000,00 bagi yang tidak menginap. Jumlah yang tidak seberapa, akan tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan akomodasi, konsumsi, dan sekaligus sebagai sumber dana untuk merawat rumah adat dan mempertahankan kearifan tradisi Wae Rebo yang sudah berusia ratusan tahun.

Tentu saja pilihan menginap akan memberikan pengalaman yang luar biasa. Wae Rebo di malam hari saat ini telah diterangi listrik dari genset yang dioperasikan di desa terdekat. Sayang memang, bukan dari pembangkit listrik energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan untuk menjaga kealamian Wae Rebo.


Sebuah rumah yang memiliki bentuk serupa meskipun lokasinya agak terpisah dari 7 rumah adat utama, difungsikan sebagai semacam guest house. Berada di dalam rumah yang dilengkapi dengan matras dan selimut yang cukup tebal itu akan membantu mengatasi udara dingin Wae Rebo. Di belakangnya, dereten toilet yang sudah didesain "modern" menjadi fasilitas untuk memenuhi kebutuhan MCK.

Sayangnya, malam ini mendung hitam masih memenuhi langit Wae Rebo. Rencana menyaksikan gerhana bulan total pun gagal. Sepanjang malam, sesekali gerimis turun. Bahkan, menjelang fajar hujan turun menderas disertai angin menderu dan guntur yang menggelegar. Padahal, jika langit cerah bisa dibayangkan betapa indahnya suasana fajar di Wae Rebo.

Untunglah, seiring mentari yang merangkak naik, cahaya mulai menerangi Wae Rebo. Deretan setengah lingkaran 7 buah rumah adat berbentuk kerucut raksasa mulai terlihat dengan jelas berselimut kabut tipis. Masyarakat Wae Rebo juga mulai tampak beraktifitas di luar rumah ataupun berangkat ke kebun. Nikmati keramahan warga yang akan dengan senang hati berkenalan dan menemani perbincangan ataupun diajak berfoto bersama.

Tanah lapang dengan rumput menghijau menjadi halaman tempat berkumpul dan bercengkerama warga. Di tengahnya ada gundukan tanah berlapis susunan batu. Hormatilah tempat sakral yang dijadikan sebagai pusat upacara dan persembahan masyarakat Wae Rebo itu. Jangan sejali-kali naik ke atasnya karena akan melukai hati warga.


Jika ingin mendapat gambaran utuh keberadaan rumah adat di Wae Rebo, naiklah ke bukit kecil di dekat permukiman. Dari ketinggian, keindahan ketujuh rumah adat Wae Rebo dengan latar belakang gunung menghijau sungguh elok dipandang.

Keindahan dan ketenangan Wae Rebo memang bikin betah. Rasanya ingin berlama-lama tinggal di Wae Rebo. Akan tetapi, tidak ingin mengulang perjalanan di gelap malam, diputuskan untuk turun ke Denge di siang hari.

Setelah berpamitan dengan warga, diiringi mendung yang kembali menebal bergegas memulai perjalanan meninggalkan Wae Rebo. Tentu saja perjalanan balik membutuhkan waktu yang lebih singkat karena lebih banyak jalur yang menurun. Berbeda dengan waktu berangkat yang diselimuti kegelapan, perjalanan turun dapat menikmati panorama keindahan Wae Rebo dengan lebih jelas. Setelah melewati hamparan kebun kopi warga Wae Rebo, perjalanan dilanjutkan menembus hutan yang lebat. Di siang hari, baru disadari bahwa jurang-jurang di sepanjang jalur menuju Wae  Rebo ternyata cukup dalam. Syukur Alhamdulillah perjalanan semalam tidak ada hambatan berarti meskipun harus berjalan dalam gulita malam. Jika perjalanan malam ditemani suara jangkrik dan serangga malam lainnya, perjalanan siang akan lebih sering terdengar kicau burung yang merdu.

Pos-pos perjalanan, yang semalam tampak samar menjadi jelas terlihat untuk diabadikan dalam foto. Jangan lupa, sesampai di dekat Pos 3, sempatkan sekali lagi  untuk menengok Desa Wae Rebo. Kilas pengalaman semalam di Wae Rebo dan pesona keindahan panoramanya segera membuncahkan tanya,: "Kapan lagi bisa kembali mengunjungi Wae Rebo?"

#ingatanperjalanan, 3101-01022018
Read More

Menyelami Kesegaran dan Keindahan Tersembunyi Danau Weekuri, Sumba Barat Daya

Leave a Comment

Kawasan pesisir Pulau Sumba memang luar biasa. Tentu saja, keindahan deretan pantainya dengan keunikan masing-masing, tak perlu diragukan lagi. Bahkan, bukan hanya pantainya. Bergeserlah sedikit ke arah daratan. Selain kampung adat Ratenggaro, ada keunikan dan keindahan lain yang tidak boleh dilewatkan: Danau Weekuri.

Lokasinya tidak terlalu jauh dari Tambolaka, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya. Hanya sekitar 60 m dan dapat ditempuh sekitar 2 jam perjalanan kendaraan bermotor.  Medan perjalanannya pun relatif mudah tanpa kelokan ataupun tanjakan tajam. Hanya saja, tidak cukup informasi yang menunjukkan arah ke Danau Weekuri. Terlebih lagi, untuk mencapainya perlu melewati jalan perkerasan batu di wilayah perkampungan dan perkebunan penduduk.

Jadilah Danau Weekuri sebagai keindahan yang tersembunyi. Selain mengikuti petunjuk google maps mengandalkan GPS, tak perlu segan untuk menggunakan GPS alami, yaitu "gunakan penduduk setempat" untuk bertanya. Masyarakat akan dengan senang hati memberitahu arah menuju Danau Weekuri. Jika pengin yang lebih mudah lagi, menggunakan mobil rental adalah pilihan tepat. Para driver mobil rental dijamin hapal akses menuju Danau Weekuri, bahkan mampu mencari jalan-jalan alternatif di perkampungan untuk mendapatkan akses terpendek.


Sesampainya di batas parkir kendaraan, melangkahlah beberapa meter. Di balik kerimbunan pepohonan, keindahan Danau Weekuri mulai terkuak. Dikelilingi karang yang kokoh, sebuah danau dengan air sebening kristal membuncahkan keinginan untuk segera merasakan kesegarannya. 

Tidak perlu terburu-buru turun ke airnya yang bening memperlihatkan dasarnya yang berpasir putih. Meskipun berat, cobalah menahan barang sejenak. Lemparkan pandangan ke sekeliling, rasakan hembusan angin dan dengarkan deburan ombak. Ya, sejatinya danau ini lebih tepat disebut sebagai laguna. Air Danau Weekuri memang berasal dari laut, menerobos di sela-sela karang di sisi barat yang menjadi dinding pembatas. 


Ikutilah jalur  ke arah batas lautan tanpa perlu khawatir dengan permukaan karangnya yang tajam. Sebuah jalan setapak dari kayu telah dibangun mengelilingi areal danau. Berjalanlah hingga batas karang yang berhadapan dengan laut lepas. Begitu luas, seluas mata memandang hingga batas garis cakrawala. Laut biru dengan ombaknya yang tak bosan menghempas dinding karang inilah yang setia mengisi ulang Danau Weekuri, menjaga airnya tetap segar.


Balikkan badan untuk melihat ke arah Danau Weekuri. Dari ketinggian, terpampang sebuah danau yang meskipun tidak begitu luas tetapi menawarkan keindahan yang membuat berdecak kagum. Airnya yang berwarna biru kehijauan memantulkan cahaya matahari, jernih sebening kristal.


Puas menjelajahi wilayah daratan, saatnya merasakan kesegaran Danau Weekuri. Sejurus kemudian terasa ada yang unik. Ya, benar. Air Danau Weekuri memang berasa asin. Tidak mengherankan, karena memang berasal dari air laut yang menerobos sela-sela karang. Yang membedakan, jika di luar karang pembatas ombak menghempas dengan kuat, di Danau Weekuri airnya begitu tenang. Benar-benar menyegarkan berendam di Danau Weekuri, bagaikan sedang berenang di kolam pribadi.


Menikmati kesegaran Danau Weekuri paling pas ketika matahari sudah bergeser ke arah barat. Meskipun dikelilingi pepohonan yang rindang, tetap saja terasa panas ketika matahari masih di atas kepala. Terlebih lagi, bonus menyaksikan matahari tenggelam di cakrawala sayang kalau dilewatkan.


#ingatanperjalanan, 11052018
Read More

Mendaki Keindahan Tanjung Mareha, Menikmati Pantai Watu Maladong dan Pantai Bhawana dari Ketinggian

Leave a Comment

Menikmati keindahan pantai tak selamanya harus berjalan di pasirnya yang lembut, berenang di airnya yang bening, ataupun berselancar di ombaknya yang menghempas. Cobalah sesekali meminjam mata burung atau menjadi kamera drone.

Rasakan pengalaman itu dengan mengunjungi Tanjung Mareha di Kabupaten Sumba Barat Daya. Tanjung Mareha adalah sebuah bukit kecil di sisi selatan Pulau Sumba yang menjorok ke arah Samudera Indonesia. Tepatnya berada di Kecamatan Kodi, berjarak sekitar 50 km dari Kota Tambolaka, dapat ditempuh kurang lebih 2 jam perjalanan mobil.

Masyarakat setempat juga menyebutnya sebagai Tanjung Radar. Penamaan ini karena di sana memang terdapat fasilitas radar yang dioperasikan oleh TNI AU. Maklum, meskipun bukan sisi paling selatan, Tanjung Mareha berhadapan langsung dengan lautan lepas yang menjadi batas luar NKRI, masuk perairan internasional dan kemudian berbatasan dengan wilayah Negara Australia. Konon, menurut penuturan penduduk setempat, jika malam sedang cerah akan terlihat lampu-lampu dari pulau yang merupakan bagian dari Negara Australia. Begitu strategis radar yang ditempatkan di Tanjung Mareha untuk mendeteksi keberadaan ancaman terhadap kedaulatan wilayah udara dan laut NKRI.

Sesampainya di batas parkir kendaraan, berjalanlah menyusuri bukit yang relatif landai sampai ujung Tanjung Mareha. Sejauh mata memandang, terhampar samudera yang begitu luas. Batas pandangan hanya akan berhenti ketika beradu dengan garis cakrawala yang mempertemukan langit biru dan laut biru. Rasakan juga kesegaran udara yang dihembuskan angin dari laut lepas. Berdiri di ujung Tanjung Mareha memberikan kesadaran betapa kecil keberadaan kita di alam, apalagi dihadapan Sang Pencipta alam semesata.


Dari ketinggian puncak bukit Tanjung Mareha, layangkan pandangan ke sisi kiri. Deretan tebing karang menyambung sampai sebuah pantai yang dikenal dengan nama Pantai Watu Maladong. Sebuah pantai eksotis berhias batu karang-batu karang berukuran besar. Ombak yang cukup besar datang bergelombang menghempas dinding karang.


Alihkan pandangan ke sisi kanan. Dari Tanjung Mareha, deretan bukit itu memanjang dan berkelok membentuk dinding tebing pembatas dengan lautan lepas. Di kaki tebing, berbatasan dengan lautan yang berwarna biru kehijauan, tampak pantainya yang berpasir putih. Sangat panjang dan berkelok mengikuti lekukan bukit. Ada pemandangan yang lebih unik. Sebuah batu karang di tepi pantai, berlubang di bagian tengah. Karang bolong itu bagaikan pintu gerbang untuk menyusuri keindahan pantainya yang berpasir putih. Pantai indah dan unik itu dikenal sebagai Pantai Bhawana atau Bwanna.

Dari ketinggian Tanjung Mareha, begitu indah panorama Pantai Watu Maladong dan Pantai Bhawana. Jika belum puas, menyusuri langsung kedua pantai itu tidak bakal kalah asyik. Tentu saja butuh waktu lebih lama untuk menjangkaunya dan usaha yang lebih melelahkan karena harus menuruni tebing dari masing-masing batas kendaraan bisa menjangkau. Jika pengin paket hemat, menikmati keindahan kedua pantai eksotik itu dari ketinggian Tanjung Mareha dapat menjadi pilihan.


#ingatanperjalanan, 11052018
Read More

Mendaki Keindahan Bukit Lendongara di Sumba Barat Daya, NTT

Leave a Comment

Sumba, kuda, dan savana adalah cerita yang sulit dipisahkan. Pernah dengar tentang kuda sandelwood? Inilah jenis kuda pacu asli Pulau Sumba yang dikenal ketangguhan daya tahan dan kecepatan berlari. Saking bangganya, masyarakat Sumba pernah menghadiahkan kuda sandelwood kepada Presiden Jokowi.

Pulau Sumba memang ideal untuk pengembangan kuda. Betapa tidak. Di Pulau Sumba banyak terhampar padang savana yang luas. Menyusuri Pulau Sumba, di beberapa tempat akan dijumpai kumpulan kuda yang bebas berlarian di padang savana.

Sejatinya, cerita padang savana tidak hanya tentang kuda. Saat ini, padang savana telah menjadi ikon Pulau Sumba yang diangankan oleh para pencari keindahan. 


Bila sedang melakukan perjalanan ke Pulau Sumba melalui Bandara Tambolaka, sempatkan untuk menepi sejenak di Bukit Lendongara untuk memuaskan angan itu. Bukit Lendongara memang belum setenar Bukit Warinding ataupun Puru Kambera di Kabupaten Sumba Timur. Akan tetapi, jika hanya punya kesempatan mengunjungi Kabupaten Sumba Barat atau Sumba Barat Daya, jangan lewatkan Bukit Lendongara.

Akses menuju Bukit Lendongara cukup baik, beraspal sepanjang jalan meskipun di beberapa tempat terdapat sedikit kerusakan. Seperti layaknya perjalanan ke bukit, perlu menempuh jalan berliku dan mendaki. Untunglah tidak ada medan yang terlalu berat, baik tanjakan ataupun kelokan ekstrim untuk menuju Bukit Lendongara. Lokasinya pun tidak terlalu jauh. Memulai perjalanan dari Bandara Tambolaka ataupun Kota Tambolaka hanya perlu waktu kurang dari 30 menit.

Sesampainya di Bukit Lendongara, bersiaplah untuk berdecak kagum. Bukit berselimut rumput menghijau itu bagaikan hamparan permadani. Konon, jika sudah memasuki musim kemarau warna permadani itu akan berubah kecoklatan oleh rumput yang mengering. Tekstur Bukit Lendongara yang bergelombang menambah pesonanya. Bukit dan lembah berselang-seling bagaikan ombak abadi. Amati dengan seksama di daerah lembahnya. Meskipun cukup jauh, dengan mata telanjang masih bisa dikenali keberadaan sekumpulan kuda yang asyik merumput.

Rasakan juga hembusan anginnya yang menerpa wajah, mengirimkan kesegaran udara khas daerah pegunungan. Begitu segar. Begitu bebas melihat hamparan padang savana yang luas di bawah langit biru. Dijamin bakal betah untuk berlama-lama menikmati keindahan Bukit Lendongara.


Jika belum puas, datanglah ketika menjelang matahari bangun dari peraduannya. Semburat cahaya keemasan berangsur menggantikan kegelapan langit. Sejurus kemudian, rerumputan di Bukit Lendongara menampakkan wujudnya. Dan bayang-bayang Kota Tambolaka mulai terlihat di kejauhan. Hiruplah kesegaran udara pagi dan rasakan kehangatan mentari.

Bukankah ini cara yang tepat untuk memulai hari yang indah dengan penuh semangat?
Foto: Andreas, MiA1

#ingatanperjalanan,
Read More

Menjelajahi Paduan Nuansa Mistis dan Pesona Eksotis Kampung Ratenggaro

Leave a Comment

Pulau Sumba bukan hanya dikarunia keindahan alam yang mempesona. Warisan budaya pun tetap terjaga hingga kini, memperkaya khasanah Pulau Sumba yang seakan tak pernah habis untuk dijelajahi. Salah satunya, Kampung Adat Ratenggaro yang berada di Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. Terletak di pesisir barat Kabupaten Sumba Barat, berjarak sekitar 50 km dari Tambolaka. 

Kampung Ratenggaro masih mempertahankan warisan leluhur, baik dalam kepercayaan, bentuk fisik bangunan, sampai dengan tata cara penguburan bagi warga yang meninggal. Sebagaimana masyarakat Sumba pada umumnya, warga Kampung Ratenggaro berpegang pada kepercayaan Marapu, yang menekankan pada penghormatan kepada para leluhur. 


Rumah adat Ratenggaro berbentuk rumah panggung, tinggi menjulang bagai menara. Sejatinya, rumah adat itu memang merupakan rumah bertingkat. Paling atas dipakai untuk menyimpan benda-benda yang dianggap sebagai pusaka. Dibawahnya berfungsi seperti lumbung, untuk menyimpan hasil panen. Seterusnya, bangunan yang beralaskan lantai rumah panggung menjadi tempat tinggal penghuni rumah. Sedangkan bagian paling bawah, di kolong rumah digunakan untuk mengandangkan hewan ternak, umumnya babi.

Tak kalah menarik, memasuki Kampung Ratenggaro bagai menjelajahi lorong waktu yang melempar ke jaman megalitikum. Deretan kuburan batu berjajar menyambut kedatangan, sebelum melangkah masuk ke gerbang  kampung. Memang, tidak semuanya berbahan batu alami karena perkembangan jaman. Akan tetapi bentuk dan tata cara penguburan masih mengikuti tradisi leluhur. Terlebih ketika sudah berada di dalam kampung, kubur batu berukuran besar terbuat dari batu alami berdiri kokoh, menegaskan tradisi jaman megalitikum yang tetap terjaga.


Melangkahlah lebih jauh ke dalam Kampung Ratenggaro. Di bagian belakang, sebuah jurang yang tak terlalu dalam menjadi batas dengan lautan yang merupakan bagian dari Samudera Indonesia. Edarkan pandangan ke pasir pantainya yang tak kalah mempesona. Pasir putih terhampar dari batas laut sampai wilayah yang ditumbuhi perdu dan pepohonan menghijau. Ombak rutin menyapa bibir pantai, mengirimkan suara deburan sampai perkampungan.


Menyusuri bibir pantai akan dijumpai kubur batu leluhur kampung Ratenggaro. Meskipun usianya sudah ribuan tahun, kuburan batu itu tampak masih kokoh berdiri.


Oh ya, jika sedang beruntung, bisa menyaksikan pertarungan para ksatria Sumba. Menunggangi kuda-kuda Sumba yang terkenal gagah perkasa, para ksatria itu akan saling melempar lembing. Di atas kuda-kuda yang dipacu kencang, para ksatria adu ketangkasan mengendalikan kuda, melempar dan menghindari lemparan lembing. Sebuah atraksi yang mendebarkan, terlebih melihat cucuran darah para ksatria. Biasanya, permainan adat yang dikenal dengan nama Pasola itu dilaksanakan pada bulan Februari-Maret.


Berada di Kampung Ratenggaro, sungguh akan mendapatkan perpaduan nuansa mistis dan pesona alam yang sayang untuk dilewatkan.

#ingatanperjalanan, 11052018
Read More

Menikmati Pertunjukan Air Mancur Menari di Pantai Pero, Sumba Barat Daya

Leave a Comment
Foto: Fachrozi

Percayalah. Tak bakal bosan menjelajahi setiap jengkal keindahan Pulau Sumba. Adalah Pantai Pero, yang menawarkan keunikan tersendiri. Berbeda dengan pantai pada umumnya, Pantai Pero didominasi hamparan batu karang. Pantai Pero terletak di Desa Pero Kodi, Kecamatan Kodi. Jaraknya sekitar 40 km dari Kota Tambolaka yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sumba Barat Daya. Lokasinya bersebelahan dengan Kampung Adat Ratenggaro.

Sejatinya, tidak semua bagian Pantai Pero berupa batu karang. Di sisi kanan dan kiri, mengapit hamparan karang, pantai dengan pasir putih yang lembut menambah pesona Pantai Pero. Lemparkan pandangan ke sisi kiri, sebuah muara sungai menjadi batas antara hamparan pasir yang lembut dengan hamparan batu karang yang kokoh. Beberapa perahu nelayan terlihat ditambatkan. Muara sungai itu memang menjadi gerbang bagi masyarakat di sekitar Pantai Pero untuk mengarungi lautan lepas, mencari hasil laut. Cumi-cumi adalah salah satu komoditas yang banyak ditangkap nelayan Pero Kodi.

Kesamaan dari semua sisi Pantai Pero adalah ombaknya yang cukup besar, datang tanpa lelah menghempas bibir pantai. Tak heran kemudian, jika Pantai Pero mulai didatangi wisatawan, utamanya dari manca negara yang tertantang menaklukkan ombaknya. Meskipun belum begitu terkenal, Pantai Pero mulai menjadi pilihan untuk melakukan surfing.


Keunikan berbeda akan ditemui ketika deburan ombak itu mencapai hamparan karang. Kekuatan ombak yang menghantam karang menciptakan cipratan yang cukup tinggi bagaikan air mancur. Tentu saja karena sisi karang yang bersentuhan langsung dengan lautan tidak beraturan, kedatangan ombak yang menghantam karang juga tidak bersamaan. Ketinggian air mancur itu tergantung pada kekuatan ombak yang menghantam hamparan karang. Ada kalanya, ketinggian cipratan air mencapai 2 meter. Bahkan, cipratan itu juga muncul dari sela-sela hamparan batu karang yang berlobang. Justru dari situlah tercipta keindahan. Cipratan ombak yang datang silih berganti, bagaikan pertunjukan air mancur menari.


Bila ingin lebih mendapatkan keindahan, berlama-lamalah di Pantai Pero hingga senja tiba. Bersiaplah melambungkan ketakjuban dan memuji Sang Pencipta manakala langit berangsur memunculkan semburat cahaya orange mengiringi mentari tenggelam. Konon, Pantai Pero adalah salah satu spot terbaik untuk menyaksikan sunset di Pulau Sumba.


Oh ya, di Desa Pero Kodi dapat dijumpai sebuah masjid. Babussalam namanya. Bagi yang sedang menyusuri keindahan sisi barat daya Pulau Sumba, dari Tanjung Mareha, Pantai Bhawana, Desa dan Pantai Rantenggaro sampai Danau Weekuri, aturlah jadwal perjalanan agar bisa menunaikan kewajiban sholat. Mampir di Masjid Babussalam sebelum atau sesudah menyaksikan pertunjukan air mancur menari adalah pilihan bijaksana, mengingat tidak begitu mudah menemukan masjid di Pulau Sumba.


#ingatanperjalanan, 
Read More

Menjelajahi Padang Savana Fulan Fehan yang Luas Tanpa Batas di Kabupaten Belu, NTT

Leave a Comment

Bayangkan berada di padang rumput yang luas ditemani puluhan ekor kuda yang bebas berlarian. Tidak perlu ke Afrika atau Eropa untuk mewujudkan bayangan itu. Cobalah datang ke Kabupaten Belu, salah satu wilayah terluar Indonesia, yang berbatasan dengan Negara Timor Leste.

Adalah Fulan Fehan, sebuah padang rumput di kaki Gunung Lakaan. Berjarak sekitar 40 km dari Kota Atambua, pusat pemerintahan Kabupaten Belu. Perjalanan akan menyusuri jalan berkelok dan mendaki. Untunglah, sebagian besar jalur itu sudah beraspal bagus. Pemerintah Kabupaten Belu terlihat serius memajukan wilayahnya. Pelebaran dan peningkatan kualitas jalan serta perbaikan talud pada tebing-tebing yang berpotensi longsor tampak tengah dikerjakan.

Fulan Fehan tampaknya dipersiapkan menjadi ikon Kabupaten Belu. Selain perbaikan infrastruktur, sejumlah event diselenggarakan untuk mengangkat keberadaan Fulan Fehan di kancah nasional bahkan internasional. Puncaknya, pada peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2017 digelar tari tradisonal yang melibatkan tak kurang dari 6000 penari. Sebuah event budaya yang melambungkan Fulan Fehan sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Meskipun demikian, belum semua jalur menuju Fulan Fehan sudah bagus aksesibilitasnya. Tantangan sesungguhnya dimulai ketika sudah memasuki Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen. Selain berkelok dan mendaki, kondisi jalannya masih berupa tanah. Jika hari hujan, jalan itu tidak hanya licin. Beberapa bagian bahkan terbelah mengalirkan air yang cukup deras. Melintas bagian jalan itu tak ubahnya seperti menyeberangi sebuah sungai.


Akan tetapi, kesulitan itu akan lunas terbayar manakala memasuki wilayah Fulan Fehan. Sejauh mata memandang terhampar padang rumput menghijau. Kontur tanah yang berbukit menambah keelokan panorama Fulan Fehan. Bagi pencinta padang savana dengan rumput berwarna coklat, datanglah ketika sudah memasuki musim kemarau. Rumput yang mengering berangsur berubah menjadi kecoklatan. Sebaliknyai, jika ingin mencari suasana segar menyejukkan, Fulan Fehan di saat rumput menghijau terhampar tanpa batas adalah tempat yang tepat. Risikonya, hari hujan dan kabut yang menyelimuti Fulan Fehan menjadi penghalang pandangan.


Temukan keunikan lain di Fulan Fehan. Tak satu pohon pun terlihat. Hanya tanaman kaktus yang tumbuh bertebaran di sudut-sudat padang rumput, muncul di antara bebatuan yang berserak di Fulan Fehan.


Edarkan pandangan menyusuri padang rumput tanpa batas itu. Kekaguman akan semakin melambung manakala mata menangkap gerombolan kuda yang asyik merumput. Jangan coba-coba terlalu dekat dengan kuda-kuda itu. Ya, mereka adalah sekumpulan kuda liar yang sangat sensitif. Jika ada yang mendekat, mereka akan berlari dengan kencang, berpindah ke lokasi lain di Fulan Fehan yang begitu luas.

Tiidak perlu mengkuti kemana kuda-kuda itu berlari. Atau memang tertarik beradu lari dengan kuda liar di Fulan Fehan?

#ingatanperjalanan, 14022018
Read More

Menikmati Tiga Dimensi Keindahan Pulau Kelor

Leave a Comment

Kabupaten Manggarai Barat, NTT memang dikarunia keindahan alam yang luar biasa. Tentu saja yang paling terkenal adalah sebagai habitat komodo, hewan purba yang mampu bertahan hidup hingga jaman now ini. Pulau Komodo dan Pulau Rinca merupakan dua pulau utama untuk mengakrabi makhluk purba itu.

Jangan habiskan  waktu hanya di kedua pulau itu. Saat ini, semakin banyak pulau lain yang juga dikenal dengan keindahan panoramanya. Lebih lengkap rasanya jika dalam pelayaran sepulang dari Pulau Komodo atau Pulau Rinca dapat singgah di pulau-pulau lain yang menawarkan keindahan tak kalah alami.


Salah satu yang layak disinggahi adalah Pulau Kelor. Jika menggunakan speed boot, hanya berjarak waktu sekitar 30 menit dari dermaga Labuan Bajo. Sebuah pulau dengan bukit di bagian tengah yang dikelilingi pantai berpasir putih. 

Bukan pulau yang luas memang. Akan tetapi, Pulau Kelor menawarkan paket keindahan yang komplet. Bak menonton film 3 dimensi, keindahan Pulau Kelor dapat dinikmati dari darat, laut, dan udara.

Sejenak sebelum perahu merapat, paduan keindahan terpampang di depan mata. Lautan jernih dengan ombak yang relatif tenang menyapu bibir pantai berpasir putih. Tidak begitu luas, segera bersambung dengan padang rumput menghijau. Di belakangnya, sebuah bukit menjadi pembatas pandangan.

Keindahan itu semakin terasa manakala kaki mulai menapak di pasir putihnya yang lembut. Suasana pantai yang teduh sangat pas untuk sekadar duduk bersantai menikmati panorama Pulau Kelor.

Air lautnya yang tenang dan jernih menjadi magnet yang membuat tidak tahan untuk tidak menceburinya. Tidak perlu berenang terlalu jauh ke tengah, bahkan di tepian pantainya pun keindahan lautnya sudah dapat dinikmati. Lautan dangkal berdasar karang datar menjadi habitat ikan-ikan beraneka jenis dan warna. Ikan badut yang semakin terkenal sejak menjadi pemeran utama dalam film Nemo, sangat mudah ditemukan di perairan itu.

Cobalah juga untuk mengamati keindahan Pulau Kelor dari udara. Tidak perlu khawatir jika tidak membawa drone untuk merekam keindahannya dari udara. Sebuah bukit yang ditumbuhi rumput menghijau siap didaki. Cukup terjal memang, dengan sudut sekitar 45 derajat. Akan tetapi di jalur pendakian sudah terbentuk undakan yang memudahkan para pendaki.

Memang melelahkan, tetapi tidak sia-sia. Panorama Pulau Kelor dari ketinggian sungguh fantastis. Di kaki bukit, pantai pasir putihnya berpadu dengan  bening air laut, dibatasi oleh gugusan pulau menghijau di seberangnya, dan dilatarbelakangi langit yang cerah. 

Sungguh perpaduan yang pas dinikmati dari tempat yang pas juga.

#ingatanperjalanan, 02022018
Read More

Mengamati Keunikan Areal Persawahan Jaring Laba-laba

1 comment

Pulau Flores merupakan lumbung padi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hamparan persawahan mudah dijumpai ketika menyusuri jalan trans Flores, dari Labuan Bajo yang menjadi pusat Kabupaten Manggarai Barat ke Ruteng sebagai ibukota Kabupaten Manggarai. Misalnya, ketika melewati Kecamatan Lembor dan Cancar, di tepi jalan utama yang membentang dari barat sampai timur Pulau Flores itu sangat mudah dijumpai areal persawahan yang luas membentang.

Uniknya, di antara areal persawahan itu terdapat  sawah yang memiliki petak tidak biasa. Jika kebanyakan petak sawah cenderung berbentuk persegi empat, di dekat Kota Ruteng yang menjadi ibukota Kabupaten Manggarai terdapat areal persawahan yang petak-petaknya membentuk pola mirip jaring laba-laba. Menyambut wisatawan asing yang mulai tertarik dengan keunikan tersebut, areal persawahan yang terletak di Kecamatan Cancar itu juga dipopulerkan dengan nama spiderweb rice field.

Sawah jaring laba-laba di Ruteng tidak seperti halnya fenomena crop circle yang memunculkan spekulasi ulah makhluk asing luar angkasa. Bukan. Bentuk areal persawahan itu sama sekali bukan karena campur tangan alien. Keunikan bentuk petak persawahan itu murni buah kearifan lokal adat Manggarai dalam mendistribusikan pengelolaan sumber daya lahan. Lingko, demikian masyarakat setempat menyebut sistem pembagian pengelolaan lahan itu. Ya, hanya pembagian pengelolaan. Secara adat, lahan itu tetap menjadi milik bersama, tetapi dikelola oleh anggota masyarakat untuk mencukupi kebutuhan komunitas.

Petak-petak yang membagi areal persawahan itu bukan sengaja dibuat menyerupai jaring laba-laba. Pembagian tanah adat itu dimulai dengan menetapkan titik pusat. Dari titik pusat itu, kemudian ditarik beberapa garis yang membagi lahan sesuai dengan jumlah kampung yang ada. Masing-masing bagian lahan itu lebih lanjut dibagi menjadi petak-petak untuk dikelola anggota kampung. Luas setiap petak tergantung pada jumlah anggota keluarga yang mengelolanya.

Ternyata, distribusi pengelolaan sumberdaya lahan itu menghasilkan pola petak sawah yang unik. Jika dipandang dari dekat, petak-petak sawah itu tak ubahnya dengan areal persawahan pada umumnya. Namun, jika dipandang dari ketinggian, petak-petak persawahan itu terlihat menyerupai jaring laba-laba. Untungnya, Lingko di Kecamatan Cancar itu dikelilingi oleh perbukitan.

Tentu butuh usaha untuk mendakinya. Tetapi, begitu sampai di puncaknya, kelelahan itu terbayar sudah. Sebuah panorama keindahan alam Manggarai yang damai menghijau terpampang di depan mata. Amati lebih seksama petak-petak areal persawahan di kaki bukit itu. Segera indera mata mengakui, petak areal persawahan yang terhampar di kaki bukit itu memang membentuk pola jaring laba-laba.

#ingatanperjalanan, 30012018
Read More

Menyepi Sejenak di Pantai Manikin, Kupang

Leave a Comment

Sepanjang sisi barat Kota Kupang berjajar pantai-pantai yang indah. Sebagaimana layaknya sebuah pantai, permukaan yang berbatasan dengan laut didominasi hamparan pasir. Akan tetapi, sekitar 15 km dari Kota Kupang menuju Kabupaten Kupang, dapat dijumpai pantai dengan dominasi permukaan yang agak berbeda. Masyarakat mengenalnya dengan nama Pantai Manikin.

Lokasi Pantai Manikin tidak jauh dari Pantai Lasiana dan Pantai Nunsui. Berbeda dengan pantai-pantai di dekatnya, selain berpasir, di Pantai Manikin juga terdapat batu koral yang tersebar di permukaannya. Bahkan, ketika air laut surut hamparan batuan itu terlihat semakin luas. Konon, pada saat musim batu akik sedang booming, banyak pengunjung yang mengumpulkan batu-batu yang tersebar di Pantai Manikin sebagai bahan untuk diolah.


Bentuk Pantai Manikin tergolong landai sehingga air laut cenderung jauh membanjiri dataran pantai ketika sedang pasang. Untunglah, di sebagian kawasan tumbuh pohon-pohon yang cukup besar yang dapat berfungsi memecah gelombang pasang. Pemerintah setempat juga telah menambahkan bangunan tembok penahan gelombang sebagai upaya pencegahan abrasi, terutama di kawasan yang tidak ada pepohonan.


Selain keunikan sebaran batuan, tentu saja saat senja menjadi pemandangan paling menarik di Pantai Manikin. Perubahan warna langit yang terpantul di permukaan laut kala senja memang selalu menarik dinantikan. 


#ingatanperjalan, 29082017
Read More

Menandai Pergantian Hari di Pantai Kelapa Lima, Kupang

Leave a Comment

Manfaatkan waktu sebaik-baiknya jika sedang berada di Kota Kupang. Jangan jadikan kesibukan sebagai alasan untuk tidak dapat menikmati keindahan alam ibukota Provinsi NTT tersebut. Jika tidak memiliki banyak waktu luang, di Kelapa Lima, salah satu wilayah yang menjadi pusat kegiatan di Kota Kupang terdapat pantai yang dapat dijadikan pilihan menikmati senja sembari melepas lelah.

Pantai Kelapa Lima memang bukan pantai yang menawarkan hamparan pasir yang luas. Panjangnya pun hanya sekitar 500 meter, berbentuk pantai karang yang curam, terletak persis di belakang Hotel On the Rock. Pemerintah Daerah menyulap pantai karang itu menjadi jalur pedestrian, dengan melakukan penimbunan dan membangun tembok  penahan gelombang setinggi kurang lebih 5 meter di sisi yang berbatasan dengan laut.


Menikmati Pantai Kelapa Lima cukup dengan melempar pandangan ke arah laut. Sejauh mata memandang, terhampar lautan luas hingga menyatu dengan langit di batas cakrawala. Ketika siang hari, perpaduan laut dan langit biru itu  sungguh indah dipandang. Sayangnya, tidak ada fasilitas peneduh di sepanjang pantai. Pohon-pohon yang ditanam pun juga belum tumbuh besar untuk dapat menaungi pengunjung dari terik panas udara Kota Kupang. Tidak heran kemudian jika di Pantai Kelapa Lima baru ramai pengunjung ketika matahari sudah berangsur turun mendekati garis cakrawala. Di sore hari puluhan warga baik tua, muda, bahkan anak-anak terlihat berjalan-jalan di jalur pedestrian ataupun duduk-duduk di tembok penahan gelombang menikmati kesegaran udara laut.

Keindahan Pantai Kelapa Lima mencapai puncaknya ketika matahari mulai tenggelam di cakrawala. Warna biru lautan luas berangsur-angsur berubah jingga kemerahan seiring dengan langit yang memerah. Dan ketika langit sudah benar-benar gelap, masih banyak warga yang enggan meninggalkan Pantai Kelapa Lima. Buanglah lelah di Pantai Kelapa Lima, agar badan kembali segar menyambut datangnya hari esok.


#ingatanperjalanan, 31082017
Read More
Previous PostPostingan Lama Beranda