Mudik merupakan salah satu tradisi umat Islam Indonesia, yang nyaris menjadi sebuah "ritual" wajib menjelang lebaran. Sesulit apapun, mudik harus dilakukan. Meskipun setiap tahun pemudik selalu dihadapkan pada kemacetan yang menjadi persoalan berulang, tidak pernah menyurutkan niat pemudik untuk bisa berlebaran di kampung halaman.
Dibukanya pintu tol Brebes Timur menghadirkan harapan baru bagi para pemudik, tahun ini waktu tempuh ke beberapa kota di Jawa akan semakin pendek. Kenyataannya, alih-alih menjadi solusi kemacetan, Brexit --akronim dari Brebes Timur Exit, mendompleng popularitas istilah keluarnya Inggris dari Uni Eropa-- justru menjadi sumber kemacetan yang dialami pemudik.
Pantauan informasi media masa maupun dari media sosial mengabarkan benar-benar telah terjadi "horor" di Brexit. Kemacetan lebih dari 20 km, macet total lebih dari 24 jam yang memaksa pemudik menginap di jalan tol, bahkan kemacetan yang gagal terurai di jalur pantura selepas Brexit menjadi ujian berat bagi para pemudik. Inilah kemacetan paling buruk sepanjang sejarah mudik Indonesia.
Perlu pemilihan jalur alternatif yang tepat untuk menghindari "horor" Brexit. Terlebih lagi, ketika memutuskan untuk mudik pada hari Minggu, 2 Juli 2016 yang merupakan salah satu puncak arus mudik tahun ini. Perjalanan selepas dluhur dari Kota Depok menyusuri Tol Lingkar Luar, Tol Cikampek sampai masuk Tol Cipali relatif lancar. Meneruskan perjalanan sampai ujung Brexit bukan pilihan bijak jika tidak ingin ikut terjebak dalam kemacetan parah. Keputusan pun segera diambil: pindah ke jalur tengah atau jalur selatan tanpa melewati gerbang tol Pejagan atau Brebes.
Pilihannya, keluar gerbang Ciperna menuju ke Kota Kuningan, karena ada kakak yang tinggal di sana. Setidaknya, bisa istirahat sambil memantau perkembangan kondisi arus mudik sebelum memutuskan jalur alternatif untuk menghindari macet. Jalur dari Ciperna sampai Kuningan cukup lancar, jam 5 sore sudah sampai di rumah mbak Datik yang ternyata juga sudah bersiap untuk mudik. Setelah istirahat, buka puasa dan berdiskusi menentukan pilihan jalur mudik, pada pukul 8 malam diputuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Pilihan mudik dari Kuningan setidaknya ada 3 jalur. Pertama, lewat Luragung-Ciledug-Losari. Jalur ini ketemu juga di jalur pantura sehingga tidak dipilih karena tetap akan berhadapan dengan kemacetan, termasuk jika dari Ciledug mengambil jalur Ketanggungan menuju Purwokerto. Kedua, lewat Cikijing-Ciamis menuju jalur selatan. Sedikit memutar dan khawatir nanti akan bertemu dengan kemacetan jalur selatan. Ketiga, lewat Luragung-Banjarharjo-Salem, selanjutnya dapat memilih ke Bumiayu-Ajibarang-Purwokerto lewat jalur tengah atau ke Majenang dan menyusuri jalur selatan. Mas Agus, suami mbak Datik, sempat kontak dengan beberapa kenalan yang tinggal di Banjarharjo untuk menanyakan aksesibilitasnya. Setelah didapat kepastian informasi, tekad dibulatkan untuk menempuh jalur mudik lewat wilayah pegunungan Kabupaten Brebes menuju Purwokerto.
Jalur Luragung sampai Banjarharjo relatif sepi dengan kondisi jalan yang baik, sehingga kendaraan dapat dipacu cukup kencang. Hanya saja, tetap harus berhati-hati karena ramai dengan pemotor. Tantangan sesungguhnya baru dimulai ketika memasuki kawasan Gunung Kumbang, terlebih untuk melewati Puncak Lio di wilayah Kecamatan Salem, Brebes. Medan mendaki yang cukup terjal dan berkelok-kelok menjadi permasalahan yang dihadapi pemudik. Beberapa pemudik bersepeda motor terlihat harus turun dan mendorong motornya. Bahkan, jika kurang ancang-ancang karena jarak yang terlalu mepet dengan mobil di depannya, terpaksa mobil yang kepayahan mendaki harus didorong juga. Untungnya, medan ekstrem itu hanya bagian kecil dari jalur alternatif Kuningan-Purwokerto. Kondisi jalannya juga bagus dengan aspal hotmix yang mulus, hanya di beberapa titik tertentu yang rusak karena genangan air. Kunci melewati jalur ini adalah mobil harus dalam kondisi fit dan dikemudikan oleh driver yang berpengalaman.
Medan selanjutnya dari Salem sampai tembus ke Bumiayu, meskipun harus membelah hutan pinus di pegunungan yang juga turun-naik dan berkelok-kelok relatif lebih mudah ditempuh. Tentu saja, pemudik yang melewati jalur alternatif ini di malam hari juga dihadapkan pada kendala penerangan yang terbatas, selain sepi karena melewati medan ekstrem dan kurang dikenal pemudik. Solusi supaya tidak salah jalan, andalkan GPS: baik Global Positioning System maupun jangan pernah ragu untuk memanfaatkan fasilitas "Gunakan Penduduk Setempat" sebagai tempat bertanya. Meskipun aksesibilitasnya tidak mudah, kenyataannya sepanjang jalur ini banyak dijumpai permukiman yang menawarkan keramahan penduduk. Terlebih jika perjalanan di siang hari, selain dapat mengenal lebih dalam budaya masyarakat setempat --yang berbahasa Sunda meskipun tinggal di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah-- sepertinya juga akan disuguhi landscape deretan pegunungan dan hamparan lembah yang indah.
Setelah menempuh jalur alternatif dari Kuningan sampai Purwokerto, perjalanan selanjutnya mengikuti jalur mudik utama jalur tengah: Purwokerto-Wonosobo-Temanggung. Karena tujuan mudik tahun ini ke Kabupaten Karanganyar maka dilanjutkan ke Ambarawa-Salatiga-Boyolali-Solo.
Alhamdulillah, dengan menghindari "horor" Brexit, total perjalanan mudik dari Kota Depok sampai Kabupaten Karanganyar (lebih dari 600 km) ditempuh sekitar 19 jam. Itupun sudah sempat istirahat di Kuningan sekitar 3 jam, ditambah mampir sahur di Ambarawa dan Sholat Subuh di Tuntang, Salatiga. Perjalanan mudik berakhir di rumah ibu di Dagen, Jaten, Karanganyar sekitar pukul 7 pagi, 3 Juli 2016. Rasa lelah selama perjalanan terbayar dengan kesempatan masih bisa mencium tangan Ibu.
Perjalanan mudik, seberat apapun, akan selalu penuh makna.
#IngatanPerjalanan, 03072016
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete