TRILOGI KEBERSAMAAN TERAKHIR: Menemani Bapak Melewati Saat-saat Terakhir

1 comment


Bapak yang kembali memburuk kesehatannya harus mendapat perawatan di RS dr. Oen, Solo. Jum’at malam, 2 April 2010 bareng mas Han, kami bersepakat untuk berangkat dari Bandung ke Solo. Libur akhir pekan dapat kami pergunakan untuk menengok dan menjaga Bapak di rumah sakit.
Alhamdulillah, Bapak yang mulai membaik, sejak Sabtu pagi, 3 April 2010 minta untuk segera bisa dipindahkan dari ICU ke kamar perawatan. Interaksi yang sangat terbatas dengan keluarga maupun tetangga yang silih berganti menjenguk ketika di ICU barangkali membuat Bapak merasa kurang nyaman. Apalagi kali ini kami berlima: mas Jat, mbak Datik, mas Han, Aku dan Anas, bersamaan dapat berkumpul menemani beliau.
Tiga kali aku masuk ruang ICU, tiga kali pula mendapat pertanyaan yang sama dari Bapak: “Kapan pindahe le?”. Sayang, sampai saat itu kamar perawatan masih penuh. Akhirnya, ketika malam beranjak semakin larut, perawat menginformasikan kalau kamar di Triganda S-8 sudah kosong dan Bapak bisa dipindahkan.
Malam itu, aku merasa sangat bersemangat untuk menunggui Bapak. Hampir semalaman aku terjaga. Kubaca al-Quran di dekat Bapak, diselingi sesekali ngobrol dengan perawat yang melakukan pemeriksaan rutin, menanyakan perkembangan kondisi Bapak.
Rupanya inilah hari-hari yang penuh makna. Aku mengalami tiga kebersamaan terakhir dengan Bapak: kesadaran, kehidupan, dan alam dunia.

Kesadaran
Samar kudengar suara adzan berkumandang, menandai waktu subuh telah masuk di hari ini, Minggu 4 April 2010. Kuguncang badan Bapak dengan pelan untuk membangunkan. Seperti biasa, dalam kondisi seperti ini bapak memang perlu diingatkan dan dibimbing untuk melaksanakan sholat.
Pak, sudah masuk waktu subuh, monggo sholat subuh dulu”.
Iyo...”, pelan Bapak mengiyakan ajakanku.
Dengan perlahan, kubimbing Bapak untuk melaksanakan sholat subuh. Bapak melaksanakan sholat subuh sambil tetap berbaring, bahkan tanpa isyarat tangan yang menandai gerakan sholat karena kondisi yang tidak memungkinkan lagi. Perlahan kulafadzkan bacaan sholat di dekat telinga Bapak. Meskipun tanpa suara, kulihat Bapak menggerakkan bibir untuk mengeja, mengikuti bacaan sholat yang kubisikkan.
Selepas salam, kulanjutkan dengan bacaan dzikir. Kupilih wirid yang biasa dibaca Bapak selesai sholat subuh, yang ditutup dengan kalimat tahlil.
Afdholu dzikri fa’lam annahu:
laa ilaha illa Allah…. laa ilaha illa Allah…. laa ilaha illa Allah….
Kuulang berkali-kali kalimat tahlil itu dengan tetap memperhatikan bibir Bapak yang terus bergerak mengikutinya.
Kulihat Ibu yang telah menyelesaikan sholat subuh duduk mendekat, menemani Bapak sambil membaca al-Quran. Segera aku pamit beranjak menuju ke musholla untuk melaksanakan sholat subuh.
Usai berdzikir dan berdoa, aku kembali ke kamar perawatan. Kuminta Ibu yang terlihat lelah karena kurang tidur untuk beristirahat. Sementara, sambil duduk di dekat Bapak, mulai kubaca wirid al-Ma’tsurat. Bapak, dari gerak bibirnya, kulihat menirukan beberapa bacaan yang dikenalnya. Kuulang beberapa kali sampai Bapak tertidur. Terlihat sangat damai dan lelap, meskipun bunyi nafasnya terdengar cukup keras.
Ternyata, itulah komunikasi terakhirku dengan Bapak. Beberapa kali dibangunkan, Bapak tidak memberikan respon yang memadai lagi. Sekadar menggumam, kemudian kembali tertidur.
Seperti biasa, setiap kali datang waktu sholat, Bapak dibangunkan dan dibimbing untuk menegakkan dengan segala keterbatasan. Guncangan Mas Jat untuk membangunkan dan membimbing menunaikan sholat jama’ Dzuhur dan Ashr maupun Maghrib dan Isya’ hanya dijawab dengan gumaman kemudian kembali diam.
Meskipun hasil pemeriksaan rutin yang dilakukan perawat menunjukkan kondisi stabil, rupanya Bapak mulai kehilangan kesadarannya.

Kehidupan
Sejak minggu siang, suhu badan Bapak memang terasa meningkat. Hasil pemeriksaan perawat menunjukkan suhu 38,50C. Obat penurun panas yang telah diberikan, dua kali lewat infus dan sekali lewat selang makan belum menunjukkan hasil. Suhu badan Bapak masih cukup tinggi. Meskipun demikian, indikator pemeriksaan lain menunjukkan Bapak masih dalam kondisi stabil.
Akan tetapi hatiku berkata lain. Ada perasaan tak enak yang tiba-tiba menyergap. Sekitar jam 16.00 kukirimkan SMS ke mas Han yang telah balik ke Bandung: “Mas, Bapak ket ndek awan sare terus, gak kerso digugah”. SMS yang sama kukirim juga ke mbak Datik dan Anas yang siang tadi juga pamit balik ke Kuningan dan Makassar.
Aku merasa perlu untuk dapat menemani Bapak secara lebih intensif. Segera kulipat tempat tidur penunggu menjadi bentuk sofa untuk menambah lega ruangan. Kulkas dan tempat tidur Bapak kugeser sehingga aku punya ruang yang cukup luas di sebelah kanan Bapak, untuk dapat selalu berada dekat Bapak tanpa mengganggu kerja perawat yang melakukan pemeriksaan rutin dari sisi sebelah kiri.
Sekitar pukul 8 malam terdengar dengkur Bapak semakin keras. Perawat yang kami panggil segera melakukan pemeriksaan dan tindakan yang diperlukan.
Kembali mulai kubaca ayat-ayat al-Quran dan doa-doa untuk kebaikan Bapak. Ibu, mas Jat dan mbak Rif juga melakukan hal yang sama. Kulirik Ibu yang melafadzkan surat Yasin sambil berurai air mata. Kondisi Bapak makin memburuk sehingga perawat menawarkan untuk kembali masuk ICU. Sambil terus berurai air mata membaca Yasin, Ibu menggoyang tangan menolak saran itu. Aku menangkap isyarat yang semakin jelas. Ya Allah, jika saat ini datang kepastian dari-Mu biarlah kami dapat terus menemani dan membimbing Bapak menghadapinya.
Ditengah kesibukan perawat melakukan tugasnya, kudekati Bapak sambil membisikkan kalimat tahlil. Terus kutatap wajah Bapak sambil tak henti kubisikkan kalimat …laa ilaha illa Allahlaa ilaha illa Allahlaa ilaha illa Allahlaa ilaha illa Allah….
Kulihat sejenak mata Bapak terbuka, dengan kondisi yang berat menyebut ….AlllahAllah… beberapa detik sebelum perawat beranjak memanggil dokter untuk memastikan keadaan Bapak. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, dokter mengabarkan kalau Bapak telah tiada, hari ini, Minggu 4 April 2010 sekitar pukul 22.30.
Kusambut kabar itu dengan perasaan sedih sekaligus lapang hati. Amal kebaikan Bapak selama ini, doa-doa yang kami panjatkan, talqin yang kami lakukan, dan dua kali lafadz Allah yang terdengar sangat jelas ditelingaku di akhir hayat beliau, semoga mengantar husnul khotimah.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.

Alam Dunia
Setelah sholat dluhur, Senin 5 April 2010, jenasah Bapak disholatkan di Masjid Al-Falah, Dagen, Jaten, Karanganyar tempat dimana Bapak banyak menghabiskan umur untuk sholat berjamaah dan ngajar ngaji.  Selepasnya, iringan ambulans dan beberapa mobil pengantar mulai bergerak. Tujuannya sebuah masjid di desa Candi, Gemolong, Kabupaten Sragen untuk dishalatkan kembali. Masa kecil dan remaja Bapak memang banyak dihabiskan di sini. Tidak heran jika banyak yang mengenal beliau sehingga merasa perlu untuk mensholatkan dan mendokan sebelum Bapak dimakamkan. Bapak juga berwasiat agar dapat dimakamkan di Desa Candi.
Sudah beberapa kali kami berziarah di sini, di kubur kakek dan nenek, orang tua yang sangat menyayangi dan membanggakan Bapak. Beberapa kali pula, setiap kali berziarah, Bapak meminta untuk dapat dikuburkan berdampingan dengan kedua orang tua beliau.
Hari ini, menjadi kewajiban kami, anak-anaknya, untuk memenuhi wasiat Bapak. Untuk pertama kalinya aku masuk ke liang kubur. Bersama dengan mas Jat dan mas Han, kami menerima jasad Bapak untuk mulai dikuburkan. Setelah mengatur posisi bapak, sebelum naik kutatap sekali lagi jenasah bapak yang terbungkus kafan. Inilah kali terakhir kebersamaanku dengan Bapak di dunia.
Ketika tanah mulai diturunkan untuk menutup liang kubur, kembali kupanjatkan doa-doa untuk kebaikan Bapak. Ya Allah, inilah saat terakhir kami bersama Bapak di alam dunia ini. Bapak telah memulai kehidupan baru di alam kubur, yang terasa begitu sesak ketika tadi aku masuk ke dalamnya. Terlebih jika tanah telah selesai ditimbun, tentu akan makin sesak dan gelap. Oleh karena itu ya Allah, lapangkanlah kuburnya, terangilah kuburnya, dan jadikanlah sebagai bagian dari taman surga-Mu. Pertemukan dan kumpulkan kembali kami kelak di surga dengan keridloan-Mu.
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainah.
Irji’ii ilaa Rabbiki raadhiyatan mardhiyyah.
Fadkhulii fii ‘ibaadii.
Wadkhulii jannatii.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment: