Menggapai Kearifan di Negeri Atas Awan Wae Rebo, Manggarai

1 comment

Keberadaan Desa Wae Rebo sudah terdengar hingga manca negara. Padahal desa adat itu berada di ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Menjangkaunya pun butuh usaha keras, mendaki gunung dan menuruni lembah dengan berjalan kaki sekitar 3 jam.

Sempatkan untuk merasakan pengalaman sensasional bermalam di Wae Rebo jika sedang berada di Pulau Flores, NTT. Paling dekat jika sudah berada di Ruteng sebagai pusat Pemerintahan Kabupaten Manggarai. Hanya butuh 2-3 jam perjalanan menuju Denge, desa terakhir sebelum pendakian. Jika dari Labuan Bajo ibukota Kabupaten Manggarai Barat ataupun kota Borong sebagai pusat Kabupaten Manggarai Timur, butuh 5-6  jam perjalanan.

Sebelum memasuki Desa Denge, perjalanan akan menyusuri kawasan perbukitan, hamparan persawahan, dan pesisir pantai sisi selatan Pulau Flores. Salah satu spot menarik adalah Pulau Mules yang terkenal dengan keindahannya. Jika punya cukup waktu sempatkan untuk menyeberang ke pulau yang bentuknya mirip gadis yang sedang tertidur itu. Oh ya, jika dari Labuan Bajo alternatif ke Denge bisa juga ditempuh dengan menyewa speed boot.

Aturlah perjalanan agar bisa sampai di Denge sebelum malam. Pendakian di siang hari, selain dapat menikmati keindahan panorama juga lebih aman karena jalur pendakian cukup sulit. Akan tetapi, jika terpaksa melakukan pendakian di waktu malam akan memberikan pengalaman yang tak kalah menantang. Seperti hari ini, setelah menyelesaikan kegiatan di Borong, keinginan untuk mengunjungi desa adat yang mendunia itu tak tertahankan lagi. Segera meluncur, dan menjelang maghrib baru sampai di Denge.

Pak Martinus, pemilik penginapan di Denge menyarankan agar menunda pendakian sampai esok hari. Memperhitungkan waktu yang tersedia dan karena malam ini bakal terjadi gerhana bulan total, tekad membulat untuk tetap mendaki Wae Rebo. Syaratnya, harus ada pemandu yang bersedia mendampingi pendakian.

Sesuai saran driver, mencoba peruntungan dengan meneruskan perjalanan sampai ujung desa. Tepat sekali saran itu. Di belakang, beberapa motor mengikuti sampai jembatan yang menjadi batas aksesibilitas mobil. Mereka adalah warga sekitar yang memang  sudah terbiasa mengantar ke Wae Rebo. Negosiasi segera digelar. Satu orang bersedia memandu pendakian, dan untuk menghemat waktu, perjalanan ke Pos 1 yang menjadi gerbang pendakian ditempuh dengan menggunakan ojek.


Perjalanan sesungguhnya baru dimulai dari Pos 1 menuju Pos 2. Medan terjal langsung menghadang, menguji ketahanan stamina. Harus pintar-pintar mengatur ritme perjalanan dan pernapasan. Diselingi beberapa kali istirahat dan mengatur nafas yang tersengal, pendakian bergegas dilanjutkan. Terlebih lagi awan hitam mengiringi pendakian, bayang-bayang hujan mengintai setiap saat.

Sayang, bulan purnama tak sekejap pun menampakkan sinarnya. Sepanjang jalur hanya kegelapan, menyusuri punggung gunung menembus kelebatan hutan. Senantiasa hati-hati dan waspada, selain licin, jalur yang hanya muat satu orang itu diapit tebing dan jurang di sisi-sisinya. Tanpa sadar, beberapa ekor lintah sudah menempel di kaki. 

Ikuti selalu petunjuk pemandu untuk kelancaran pendakian. Oh ya, senter menjadi perlengkapan wajib untuk pendakian malam. Jika mendaki di musim hujan, siapkan juga jas hujan untuk berjaga-jaga. Satu hal lagi, gunakan sepatu atau alas kaki yang memang diperuntukkan untuk mendaki gunung karena medan yang cukup berat.



Setelah perjalanan sekitar 1 jam, sampailah di Pos 2. Tidak ada bangunan layaknya sebuah pos. Hanya bagian dari jalur pendakian yang ditandai dengan pagar besi sebagai pembatas di sisi jurang dan tebing di sisi lainnya. Dari ketinggian itu, dapat disaksikan kampung Denge terlihat dari lampu-lampu yang terpancar dari rumah penduduk. Tak disangka, justru di sini sinyal telepon dapat tertangkap.

Setelah istirahat sejenak, perjalanan dilanjut menuju Pos 3. Jalur mendaki yang cukup terjal masih menjadi tantangan. Untunglah tidak terlalu lama, hanya sekitar 300 meter jalur pendakian, selanjutnya mulai melandai. Sekitar 1 jam perjalanan terlihat bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Itulah Pos 3 jalur pendakian ke Wae Rebo. 


Dari Pos 3, kampung Wae Rebo sudah terlihat. Jangan buru-buru melanjutkan perjalanan. Pemandu akan memukul kentongan sebagai pertanda kehadiran tamu. Jika dari kampung ada balasan, maka berarti ijin untuk masuk ke Wae Rebo sudah diberikan. Jika tidak ada balasan, misalkan kedatangan sudah terlalu larut malam, maka tamu harus menginap di Pos 3 menunggu pagi.

Berbeda dari perjalanan sebelumnya,  dari Pos 3 menuju kampung Wae Rebo justru menuruni lembah. Jika jalur tanah basah karena hujan, berhati-hatilah karena cukup licin. Manfaatkan rerumputan dan pohon yang tumbuh di pinggir jalur untuk menjaga keseimbangan supaya tidak tergelincir.


Sesampai di Wae Rebo, sebagai bentuk penerimaan setiap tamu akan dipersilahkan masuk terlebih dahulu ke rumah ketua adat. Di bangunan rumah terbesar ini, beberapa warga sudah berkumpul menyambut dengan tabuhan gamelan khas Wae Rebo. Selanjutnya, setelah para tamu dipersilahkan ikut duduk bersila, ritual penerimaan pun digelar. Sejalan dengan kepercayaan masyarakat Wae Rebo, kedatangan tamu harus disampaikan kepada para leluhur. Menggunakan bahasa Manggarai, tetua adat dengan suara cukup keras menyampaikan kepada para leluhur tentang identitas tamu, asal tempat tinggal, maksud kedatangan dan sekaligus dinyatakan sebagai warga Wae Rebo, bukan lagi sebagai tamu dari jauh.

Sebelum upacara adat itu, tamu tak diperkenankan beraktifitas termasuk mengambil foto untuk mengabadikan keindahan Wae Rebo. Sebagai welcome drink, kopi hitam yang diolah dari hasil kebun warga Wae Rebo menjadi sajian nikmat, mengembalikan semangat yang terkuras sepanjang perjalanan.

Jangan pusingkan akomodasi dan konsumsi selama di Wae Rebo. Pada saat upacara adat, para tamu akan diminta keikhlasan untuk menyerahkan Rp. 350.000,00 untuk yang menginap dan Rp. 250.000,00 bagi yang tidak menginap. Jumlah yang tidak seberapa, akan tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan akomodasi, konsumsi, dan sekaligus sebagai sumber dana untuk merawat rumah adat dan mempertahankan kearifan tradisi Wae Rebo yang sudah berusia ratusan tahun.

Tentu saja pilihan menginap akan memberikan pengalaman yang luar biasa. Wae Rebo di malam hari saat ini telah diterangi listrik dari genset yang dioperasikan di desa terdekat. Sayang memang, bukan dari pembangkit listrik energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan untuk menjaga kealamian Wae Rebo.


Sebuah rumah yang memiliki bentuk serupa meskipun lokasinya agak terpisah dari 7 rumah adat utama, difungsikan sebagai semacam guest house. Berada di dalam rumah yang dilengkapi dengan matras dan selimut yang cukup tebal itu akan membantu mengatasi udara dingin Wae Rebo. Di belakangnya, dereten toilet yang sudah didesain "modern" menjadi fasilitas untuk memenuhi kebutuhan MCK.

Sayangnya, malam ini mendung hitam masih memenuhi langit Wae Rebo. Rencana menyaksikan gerhana bulan total pun gagal. Sepanjang malam, sesekali gerimis turun. Bahkan, menjelang fajar hujan turun menderas disertai angin menderu dan guntur yang menggelegar. Padahal, jika langit cerah bisa dibayangkan betapa indahnya suasana fajar di Wae Rebo.

Untunglah, seiring mentari yang merangkak naik, cahaya mulai menerangi Wae Rebo. Deretan setengah lingkaran 7 buah rumah adat berbentuk kerucut raksasa mulai terlihat dengan jelas berselimut kabut tipis. Masyarakat Wae Rebo juga mulai tampak beraktifitas di luar rumah ataupun berangkat ke kebun. Nikmati keramahan warga yang akan dengan senang hati berkenalan dan menemani perbincangan ataupun diajak berfoto bersama.

Tanah lapang dengan rumput menghijau menjadi halaman tempat berkumpul dan bercengkerama warga. Di tengahnya ada gundukan tanah berlapis susunan batu. Hormatilah tempat sakral yang dijadikan sebagai pusat upacara dan persembahan masyarakat Wae Rebo itu. Jangan sejali-kali naik ke atasnya karena akan melukai hati warga.


Jika ingin mendapat gambaran utuh keberadaan rumah adat di Wae Rebo, naiklah ke bukit kecil di dekat permukiman. Dari ketinggian, keindahan ketujuh rumah adat Wae Rebo dengan latar belakang gunung menghijau sungguh elok dipandang.

Keindahan dan ketenangan Wae Rebo memang bikin betah. Rasanya ingin berlama-lama tinggal di Wae Rebo. Akan tetapi, tidak ingin mengulang perjalanan di gelap malam, diputuskan untuk turun ke Denge di siang hari.

Setelah berpamitan dengan warga, diiringi mendung yang kembali menebal bergegas memulai perjalanan meninggalkan Wae Rebo. Tentu saja perjalanan balik membutuhkan waktu yang lebih singkat karena lebih banyak jalur yang menurun. Berbeda dengan waktu berangkat yang diselimuti kegelapan, perjalanan turun dapat menikmati panorama keindahan Wae Rebo dengan lebih jelas. Setelah melewati hamparan kebun kopi warga Wae Rebo, perjalanan dilanjutkan menembus hutan yang lebat. Di siang hari, baru disadari bahwa jurang-jurang di sepanjang jalur menuju Wae  Rebo ternyata cukup dalam. Syukur Alhamdulillah perjalanan semalam tidak ada hambatan berarti meskipun harus berjalan dalam gulita malam. Jika perjalanan malam ditemani suara jangkrik dan serangga malam lainnya, perjalanan siang akan lebih sering terdengar kicau burung yang merdu.

Pos-pos perjalanan, yang semalam tampak samar menjadi jelas terlihat untuk diabadikan dalam foto. Jangan lupa, sesampai di dekat Pos 3, sempatkan sekali lagi  untuk menengok Desa Wae Rebo. Kilas pengalaman semalam di Wae Rebo dan pesona keindahan panoramanya segera membuncahkan tanya,: "Kapan lagi bisa kembali mengunjungi Wae Rebo?"

#ingatanperjalanan, 3101-01022018
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete