Saya Iri di Bulan Ramadhan Ini

Leave a Comment

Di masjid kami, Pak Catur bukan siapa-siapa. Maksudnya, dia hanya jamaah biasa. Meskipun cukup rajin shalat berjamaah, belum pernah sekalipun, atau setidaknya sangat jarang, dia menjadi imam shalat. Masjid kami memang memiliki imam tetap, namun ketika beliau sedang ada udzur, tentu salah satu dari kami harus menjadi imam pengganti. 

Memang, pernah sekali dua kali, ketika tidak banyak yang datang di masjid, Pak Catur terpaksa menjadi imam pengganti. Itu pun dia hanya bersedia untuk shalat sirr, shalat Zuhur atau 'Ashr. 

Sebenarnya wajar kalau Pak Catur jarang menjadi imam shalat. Dia saja sering terlambat tiba di masjid, mengikuti shalat berjamaah sebagai makmum masbuq

Tetapi bukan itu penyebab sebenarnya. Pak Catur memang selalu berusaha menghindar untuk menjadi imam shalat.

"Masih banyak yang lebih layak," katanya sambil mempersilahkan yang lain.

Di lain waktu, ketika diminta menjadi imam, dia menggelengkan kepala: "Saya orangnya pelupa." 

Atau, di kesempatan lain, senyum-senyum tanpa malu membuat pengakuan: "Dosa saya banyak."

Pokoknya, ada saja alasan Pak Catur untuk menolak menjadi imam. 

Pagi ini, setelah hampir semalaman begadang untuk i'tikaf, seusai shalat subuh berjamaah saya berbaring menunggu waktu syuruq tiba. Samar-samar saya dengar Pak Catur sedang membaca Al-Qur'an. Meskipun pelan, karena posisi yang cukup dekat, bacaannya terdengar cukup jelas. 

Sambil terkantuk-kantuk, saya dengarkan ayat Al-Qur'an yang sedang dibaca Pak Catur. Lumayan, bisa ikut dapat pahala meskipun hanya mendengarkan. Terlebih di bulan yang nilai pahalanya dilipatgandakan ini.

Bacaan Pak Catur cukup lancar. Namun, tajwid-nya masih banyak yang belum tepat. Masih sering terpeleset antara idzhar, idgham, iqlab, atau ikhfa'. Apalagi makhorijul huruf-nya, banyak yang berantakan. Belum bisa menempatkan keluarnya huruf dengan pas apakah di tenggorokan, di rongga mulut, di antara dua bibir, di lidah, atau di pangkal hidung. Jangan pula tanya yang lebih detail seperti qalqalah dan hams. Dia juga sulit konsisten mengucapkan huruf yang tebal atau yang tipis, dan seterusnya.

Bagi saya yang kemampuan tajwid juga masih pas-pasan, bacaan Pak Catur sudah lebih dari cukup untuk disimak. Beberapa ayat yang kebetulan hafal, terdengar cukup jelas dan mudah diikuti.

Setelah beberapa saat membaca Al-Qur'an, tiba-tiba suara Pak Catur tercekat. Bahkan samar-samar terdengar isak tangis yang sangat lirih. Barangkali hanya saya yang mendengar, karena posisi jamaah lain cukup jauh.

Saya tidak tahu, apakah dia terisak karena ayat Al-Qur'an yang sedang dibacanya, atau barangkali punya masalah berat yang sedang dihadapi. 

Tapi tetap saja bikin penasaran. Tanpa mengubah posisi tiduran agar tidak menggangunya, saya pertajam pendengaran. Beberapa kali Pak Catur terdiam menenangkan diri. Namun, ketika kembali hendak mulai membaca Al-Qur'an, lagi-lagi suaranya tertahan tergantikan oleh isakan.

Saya semakin penasaran. Masih bertahan dengan posisi berbaring, sehingga tidak tahu apakah ada air mata yang membasahi wajahnya atau tidak.

Beberapa saat Pak Catur masih diam menenangkan diri. Samar-samar, mulai terdengar suaranya. Meskipun lebih lirih, saya tahu beliau tidak sedang membaca Al-Qur'an. Dia membaca shalawat berkali-kali. Puluhan kali atau mungkin ratusan kali karena cukup lama dia bershalawat. 

Saat pelan-pelan, masih dengan suara tercekat, Pak Catur mulai kembali membaca Al-Qur'an, saya semakin penasaran ayat apa yang sedang dibacanya. Untunglah, Pak Catur beberapa kali mengulang bacaan yang saya duga membuat dia terisak. Setelah menyimak beberapa saat, barulah saya sadar.

Allahu Akbar. 

Ternyata Pak Catur sedang membaca ayat yang sama dengan yang dibaca oleh sahabat Abu Bakar untuk menenangkan sahabat Umar bin Khatab. Saat itu, sahabat Umar yang terkenal punya karakter kuat, terguncang dengan wafatnya Rasulullah SAW. Bahkan menghunus pedangnya, mengancam orang-orang yang mengatakan Rasulullah SAW telah wafat. Hati sahabat Umar baru luluh setelah mendengar sahabat Abu Bakar membaca ayat Al-Qur'an, sebagaimana ayat yang tadi membuat Pak Catur terisak.

Begitu iri diri ini. Ketika saya hampir terbang ke alam mimpi, rupanya Pak Catur terlempar ke masa dimana dua sahabat utama, semoga Allah merahmati keduanya, mengalami kesedihan mendalam mengetahui kekasihnya telah dipanggil Allah. Kesedihan yang pasti juga dialami oleh seluruh kaum muslimin.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولࣱ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِی۟ن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰۤ أَعۡقَـٰبِكُمۡۚ وَمَن یَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَیۡهِ فَلَن یَضُرَّ ٱللَّهَ شَیۡـࣰٔاۗ وَسَیَجۡزِی ٱللَّهُ ٱلشَّـٰكِرِینَ

“Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran ayat 144)

Pak Catur, pagi ini saya iri. Begitu rindukah Pak Catur hingga menangis mengenang wafat Rasulullah SAW? Begitu besarkah cinta Pak Catur hingga tergoncang dengan ayat yang mengingatkan puncak kesedihan kaum muslimin saat wafat Rasulullah SAW? 

Pak Catur, jika kelak karena rindu dan cinta ini menjadi syafaat hingga Rasulullah SAW menuntunmu menuju surga, mohon gandeng tangan saya untuk bisa bersama-sama ikut berkumpul bersama Rasulullah SAW. 

Sungguh Pak Catur, saya iri. Sementara saya, puluhan bahkan mungkin ratusan kali membaca ayat itu, tanpa sekalipun pernah tersentuh dengan keagungannya.

Depok, 21 Ramadhan 1446 H
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar