Gema takbir mulai berkumandang, bersahutan dari masjid-masjid di seputaran rumah, menandakan berakhirnya bulan yang penuh berkah ini. Besok, hari raya Idul Fitri akan tiba. Inilah waktu berbuka puasa terakhir. Tapi aku malah ditemani kegelisahan yang menyusup ke dalam hati.
Sambil menyelesaikan hidangan takjil, aku duduk menatap ponsel yang memperlihatkan kalender digital, dengan tatapan masygul. Esok pagi, harusnya menjadi hari kemenangan. Tapi di dalam hati, yang ada hanya sesak dan penyesalan.
Sejak awal Ramadhan, aku berjanji pada diri sendiri akan lebih mendekat kepada Allah. Sederet daftar amal untuk mengisi bulan Ramadhan telah rapi aku targetkan. Ingin menambah bacaan Al-Qur’an, ingin merutinkan shalat malam, ingin lebih banyak sedekah, ingin lebih sering memohon ampunan, ingin berdoa lebih khusyuk, dan ingin setiap waktu mengisi dengan amal ibadah mumpung bulan ini nilai pahala dilipatgandakan.
Namun, hari demi hari berlalu dengan begitu cepat. Aku santai saja ketika daftar amal itu hanya berakhir dengan keinginan tanpa tindakan. Aku selalu merasa masih punya waktu.
“Besok aku akan mulai,” kataku setiap malam.
Tapi besok selalu saja menjadi lusa, dan lusa bergeser menjadi pekan lalu. Hingga tanpa sadar, inilah buka puasa Ramadhan terakhir tahun ini.
Malam ini, aku hanya bisa menghela napas panjang, menunduk dengan tangan menggenggam erat tasbih yang tak banyak kugunakan selama sebulan ini. Kulirik Al-Qur’an di atas meja yang lebih banyak tergeletak daripada berada dipangkuan untuk kubaca.
Dulu, aku berpikir Ramadhan ini akan berbeda. Aku berjanji akan beribadah lebih sungguh-sungguh. Namun, aku justru lebih banyak menghabiskan banyak waktu dengan hal-hal yang tak perlu.
Aku terlalu sibuk. Scroll media sosial hingga menjelang tidur, menonton serial film dan drama yang tak ada habis-habisnya, sesekali pergi berbuka di luar bareng teman biar bisa berswafoto dan mengunggahnya, menonton podcast yang lebih banyak bercanda tanpa makna, dan membaca cerita-cerita novel yang sebenarnya memiliki alur yang monoton, jauh dari keindahan dan kedalaman makna dibanding kisah-kisah dalam Al-Qur’an.
Malam ini, aku sadar. Semua itu telah berlalu, dan aku tak bisa mengulanginya. Dada ini terasa semakin sesak. Aku teringat almarhum ayah yang dulu selalu mengingatkan untuk memanfaatkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.
“Doa di bulan ini mustajab, Nak. Jangan sampai kamu menyesal karena menunda-nunda,” katanya suatu saat sambil makan sahur. Tapi aku hanya mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Aku merasa begitu bodoh. Allah telah memberikan sebulan penuh kesempatan, tapi aku justru menyia-nyiakannya. Hingga waktu berbuka puasa Ramadhan terakhir ini, aku belum juga merasakan keindahan qiyamul lail dan kenikmatan membaca Al-Qur'an yang selama ini kuimpikan.
Ramadhan, mengapa engkau datang dan pergi tanpa menyapaku? Tapi rasa kecewa itu segera berganti dengan rasa sesal. Aku sadar, bukan Ramadhan yang tidak menyapa, tapi aku yang justru mengabaikannya.
Tanpa berpikir panjang, Aku bangkit dari tempat duduk, berwudhu hingga air yang membasuh wajah bercampur dengan air mata yang terus menetes. Sesaat setelah menenangkan hati, kulangkahkan kaki ke masjid untuk menunaikan Shalat Maghrib berjamaah. Malam ini, aku tak ingin menunda lagi.
Dengan suara lirih, aku mulai berdoa.
“Ya Allah, ampuni hamba yang telah menyia-nyiakan waktu-Mu. Hamba mohon, beri kekuatan untuk bersegera menunaikan amal-amal yang kemarin tertunda dan izinkan hamba kembali bertemu dengan Ramadhan-Mu di tahun depan. Jangan biarkan hamba mengulang kesalahan ini lagi.”
Doa penuh penyesalan itu akhirnya terucap. Tapi di dasar hati, aku tahu, tidak ada yang bisa menjamin apakah masih akan mendapatkan kesempatan kedua, disapa oleh Ramadhan tahun depan.
Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaahu Allaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil hamd.
Depok, 1 Syawal 1446 H
0 komentar:
Posting Komentar