Hijrah Bukan Hanya Soal Pindah, Tapi Juga Tentang Menata Arah

Leave a Comment

Pagi ini langit seperti baru saja dibasuh. Bersih dan tenang. Tidak tampak mendung hitam yang sejak beberapa hari lalu mengepung. Menumpahkan hujan di musim kemarau.

Angin menyapu pelan di wajah saat kubuka pintu rumah. Udara terasa sejuk. Seakan turut menyambut datangnya sesuatu yang baru.

Sepi. Tak ada suara selain langkah kakiku menuju masjid. Beberapa kali aku ragu. Entah sudah berapa lama aku tak ke masjid waktu Subuh. Bahkan aku sendiri tidak tahu persis kenapa pagi ini tiba-tiba ingin berangkat.

Mungkin karena kalender di dinding kamarku. Angka berwarna merah itu seperti mengirim pesan kewaspadaan. 1 Muharram. Tahun baru hijriyah. Tahun baru yang membangkitkan harapan baru.

Aku berjalan pelan. Seolah mencoba mengingat jalan yang dulu pernah rutin kulalui. Dari rumah ke masjid yang sebenarnya tidak begitu jauh. 

Di masjid, deretan jamaah yang mengisi tiga shaf tampak khusyuk. Aku datang saat imam membaca Surah Al-‘Ashr. Ayat pendek yang sejak kecil sudah kuhafal artinya. Tapi kali ini seperti menembus langsung ke jantungku.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.”

Kerugian. Kata itu menggema di kepala. “Yang hilang bisa dicari,” batinku. “Tapi waktu… dia tak pernah kembali.”

Selesai shalat subuh, aku duduk lama. Tidak langsung pulang. Ada sesak yang memenuhi dada. Sesuatu yang selama ini takut kuakui. Tapi pagi ini aku tak malu mengakuinya. Sepertinya aku telah kehilangan arah.

Aku sadar, selama ini terlalu sibuk mengejar yang tak pasti. Sibuk mempercepat langkah, tapi lupa memastikan arah. Sibuk membuktikan diri agar diakui, tapi lupa menata hati.

Pagi ini, di sudut masjid ini, aku merasa seperti orang yang lama tersesat dan baru saja menemukan papan petunjuk arah.

Saat melangkah pulang, matahari mulai tinggi sepenggalah. Sinar keemasannya menghangatkan. Jalan yang tadi terasa sepi dan dingin, kini seperti lebih bersahabat.

Langkah kaki juga terasa lebih ringan. Sepertinya kali ini ada yang berubah. Aku masih belum tahu semua jawaban hidupku. Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku ingat kembali ke mana harus melangkah.

Tahun baru bukan sekadar pergantian kalender, tetapi momen spiritual untuk berhijrah. Dari lalai menuju sadar. Dari kesia-siaan menuju kebermanfaatan. Dari dunia semata menuju akhirat yang abadi. 

Bismillah. Hijrah bukan hanya soal pindah, tapi juga tentang menata arah. Bukan untuk status, bukan untuk pamer. Tapi untuk sebuah perjalanan pulang. Pulang ke kampung akhirat. Pelan-pelan, entah kapan bakal sampai. Tapi pasti sampai.

Depok, 1 Muharram 1447 H
Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar