Bagi saya yang pertama kali berkunjung ke Kota Jayapura, pemandangan puluhan masjid berukuran besar menjadi sesuatu yang menakjubkan. Semula, saya membayangkan akan kesulitan menemukan masjid ketika berada di kota ujung timur Indonesia ini. Bayangan itu mungkin datang dari gambaran lama tentang Papua yang lebih dikenal dengan sejarah misi penginjil yang kuat. Namun, kenyataan yang ditemui justru menghadirkan kejutan yang berbeda.
Masjid yang megah dengan kubah dan menara yang gagah bahkan sudah bisa dijumpai sejak keluar dari Bandara Sentani di Kabupaten Jayapura menuju Kota Jayapura. Deretan masjid-masjid itu menjadi semakin rapat saat mendekati pusat-pusat permukiman kota. Di sepanjang jalan utama sejak dari Abepura, Entrop, Hamadi hingga tepi Teluk Youtefa dan pusat kota tak henti berucap masyaallah, saat mata berkali-kali disambut bangunan masjid yang megah berarsitektur modern dengan menara-menara yang menjulang.
Saat meneruskan perjalanan ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw, jumlah masjid yang dijumpai di jalur utama menuju perbatasan dengan PNG itu memang berkurang. Namun itu lebih karena keberadaan permukiman yang lebih jarang. Agak masuk dari jalur utama, menurut penuturan warga, mudah ditemukan beberapa masjid di permukiman transmigrasi di Koya Barat dan Koya Timur. Kenyataan itu menghadirkan kesadaran baru bahwa masjid-masjid di kota ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat shalat, tetapi juga simbol hadirnya komunitas muslim yang telah lama berakar di tanah Papua.
Di antara puluhan masjid itu, ada beberapa yang cukup menarik perhatian. Masjid Raya Baiturrahim di Gurabesi menandai kehadiran Islam di jantung kota. Tidak jauh dari bangunan modern dan megah yang dapat menampung hingga 5000 jamaah itu, ada masjid Jami' yang konon merupakan masjid tertua di Kota Jayapura. Sekilas, tidak mudah mengidentifikasi bangunan tiga lantai yang menyatu dengan sekolah itu sebagai masjid. Tidak terlihat kubah ataupun menara, hanya tulisan Masjid Jami' berukuran besar dan papan nama Lembaga Pendidikan Ma'arif.
Tidak banyak masjid yang bisa saya kunjungi dalam perjalanan singkat ini. Hanya masjid Al-Hidayah di Entrop, masjid Taqwa di depan pasar Hamadi, dan masjid Al-Ikhlas di Yabansai tidak jauh dari lingkungan Universitas Cendrawasih.
Di Kota Jayapura, keberadaan masjid-masjid itu menjadi saksi sejarah pertemuan budaya. Banyak warga yang datang dari Maluku, Bugis, Makassar, Jawa, hingga Sumatera, menetap di kota ini sejak puluhan tahun lalu dan hidup berdampingan dengan Orang Asli Papua. Masjid-masjid itu kini menjadi bagian dari lanskap kota, seperti potret utuh dari keragaman Indonesia yang berpadu di tanah Papua.
Bagi saya pribadi, pemandangan puluhan masjid besar di Kota Jayapura bukan hanya menakjubkan, tetapi juga menenangkan. Pengalaman ini mengubah cara pandang saya tentang Kota Jayapura.
Kota ini tidak hanya tentang keindahan laut biru Teluk Youtefa, pegunungan Cycloop yang hijau, atau pasar yang ramai dengan tangkapan hasil laut, pinang, kopi, dan hasil bumi lainnya. Kota Jayapura juga tentang suara adzan yang berpadu dengan lonceng gereja, tentang kubah masjid yang berdiri sejajar dengan tiang salib, tentang harmoni yang nyata di tengah masyarakat yang majemuk. Sebuah perjalanan yang menjadi pengingat bahwa di ujung timur negeri, identitas kebangsaan dan kebersamaan tetap terjaga.
Inilah wajah Indonesia yang berbeda-beda tetapi tetap satu.
Kota Jayapura, 19-23 Agustus 2025
0 komentar:
Posting Komentar