Tentang Blog

Catatan ringan hasil mengumpulkan kembali ingatan tentang perjalanan yang telah dilalui. Bukan dimaksudkan untuk memberikan panduan perjalanan, hanya sebagai testimoni betapa mengagumkan negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.

author

Ingatan Perjalanan di Kota Jayapura: MASJID-MASJID DI UJUNG TIMUR INDONESIA

Leave a Comment

Bagi saya yang pertama kali berkunjung ke Kota Jayapura, pemandangan puluhan masjid berukuran besar menjadi sesuatu yang menakjubkan. Semula, saya membayangkan akan kesulitan menemukan masjid ketika berada di kota ujung timur Indonesia ini. Bayangan itu mungkin datang dari gambaran lama tentang Papua yang lebih dikenal dengan sejarah misi penginjil yang kuat. Namun, kenyataan yang ditemui justru menghadirkan kejutan yang berbeda.

Masjid yang megah dengan kubah dan menara yang gagah bahkan sudah bisa dijumpai sejak keluar dari Bandara Sentani di Kabupaten Jayapura menuju Kota Jayapura. Deretan masjid-masjid itu menjadi semakin rapat saat mendekati pusat-pusat permukiman kota. Di sepanjang jalan utama sejak dari Abepura, Entrop, Hamadi hingga tepi Teluk Youtefa dan pusat kota tak henti berucap masyaallah, saat mata berkali-kali disambut bangunan masjid yang megah berarsitektur modern dengan menara-menara yang menjulang. 

Saat meneruskan perjalanan ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw, jumlah masjid yang dijumpai di jalur utama menuju perbatasan dengan PNG itu memang berkurang. Namun itu lebih karena keberadaan permukiman yang lebih jarang. Agak masuk dari jalur utama, menurut penuturan warga, mudah ditemukan beberapa masjid di permukiman transmigrasi di Koya Barat dan Koya Timur. Kenyataan itu menghadirkan kesadaran baru bahwa masjid-masjid di kota ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat shalat, tetapi juga simbol hadirnya komunitas muslim yang telah lama berakar di tanah Papua. 

Di antara puluhan masjid itu, ada beberapa yang cukup menarik perhatian. Masjid Raya Baiturrahim di Gurabesi menandai kehadiran Islam di jantung kota. Tidak jauh dari bangunan modern dan megah yang dapat menampung hingga 5000 jamaah itu, ada masjid Jami' yang konon merupakan masjid tertua di Kota Jayapura. Sekilas, tidak mudah mengidentifikasi bangunan tiga lantai yang menyatu dengan sekolah itu sebagai masjid. Tidak terlihat kubah ataupun menara, hanya tulisan Masjid Jami' berukuran besar dan papan nama Lembaga Pendidikan Ma'arif.

Tidak banyak masjid yang bisa saya kunjungi dalam perjalanan singkat ini. Hanya masjid Al-Hidayah di Entrop, masjid Taqwa di depan pasar Hamadi, dan masjid Al-Ikhlas di Yabansai tidak jauh dari lingkungan Universitas Cendrawasih.

Di Kota Jayapura, keberadaan masjid-masjid itu menjadi saksi sejarah pertemuan budaya. Banyak warga yang datang dari Maluku, Bugis, Makassar, Jawa, hingga Sumatera, menetap di kota ini sejak puluhan tahun lalu dan hidup berdampingan dengan Orang Asli Papua. Masjid-masjid itu kini menjadi bagian dari lanskap kota, seperti potret utuh dari keragaman Indonesia yang berpadu di tanah Papua.

Bagi saya pribadi, pemandangan puluhan masjid besar di Kota Jayapura bukan hanya menakjubkan, tetapi juga menenangkan. Pengalaman ini mengubah cara pandang saya tentang Kota Jayapura. 

Kota ini tidak hanya tentang keindahan laut biru Teluk Youtefa, pegunungan Cycloop yang hijau, atau pasar yang ramai dengan tangkapan hasil laut, pinang, kopi, dan hasil bumi lainnya. Kota Jayapura juga tentang suara adzan yang berpadu dengan lonceng gereja, tentang kubah masjid yang berdiri sejajar dengan tiang salib, tentang harmoni yang nyata di tengah masyarakat yang majemuk. Sebuah perjalanan yang menjadi pengingat bahwa di ujung timur negeri, identitas kebangsaan dan kebersamaan tetap terjaga. 

Inilah wajah Indonesia yang berbeda-beda tetapi tetap satu.

Kota Jayapura, 19-23 Agustus 2025
Read More

Hijrah Bukan Hanya Soal Pindah, Tapi Juga Tentang Menata Arah

Leave a Comment

Pagi ini langit seperti baru saja dibasuh. Bersih dan tenang. Tidak tampak mendung hitam yang sejak beberapa hari lalu mengepung. Menumpahkan hujan di musim kemarau.

Angin menyapu pelan di wajah saat kubuka pintu rumah. Udara terasa sejuk. Seakan turut menyambut datangnya sesuatu yang baru.

Sepi. Tak ada suara selain langkah kakiku menuju masjid. Beberapa kali aku ragu. Entah sudah berapa lama aku tak ke masjid waktu Subuh. Bahkan aku sendiri tidak tahu persis kenapa pagi ini tiba-tiba ingin berangkat.

Mungkin karena kalender di dinding kamarku. Angka berwarna merah itu seperti mengirim pesan kewaspadaan. 1 Muharram. Tahun baru hijriyah. Tahun baru yang membangkitkan harapan baru.

Aku berjalan pelan. Seolah mencoba mengingat jalan yang dulu pernah rutin kulalui. Dari rumah ke masjid yang sebenarnya tidak begitu jauh. 

Di masjid, deretan jamaah yang mengisi tiga shaf tampak khusyuk. Aku datang saat imam membaca Surah Al-‘Ashr. Ayat pendek yang sejak kecil sudah kuhafal artinya. Tapi kali ini seperti menembus langsung ke jantungku.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.”

Kerugian. Kata itu menggema di kepala. “Yang hilang bisa dicari,” batinku. “Tapi waktu… dia tak pernah kembali.”

Selesai shalat subuh, aku duduk lama. Tidak langsung pulang. Ada sesak yang memenuhi dada. Sesuatu yang selama ini takut kuakui. Tapi pagi ini aku tak malu mengakuinya. Sepertinya aku telah kehilangan arah.

Aku sadar, selama ini terlalu sibuk mengejar yang tak pasti. Sibuk mempercepat langkah, tapi lupa memastikan arah. Sibuk membuktikan diri agar diakui, tapi lupa menata hati.

Pagi ini, di sudut masjid ini, aku merasa seperti orang yang lama tersesat dan baru saja menemukan papan petunjuk arah.

Saat melangkah pulang, matahari mulai tinggi sepenggalah. Sinar keemasannya menghangatkan. Jalan yang tadi terasa sepi dan dingin, kini seperti lebih bersahabat.

Langkah kaki juga terasa lebih ringan. Sepertinya kali ini ada yang berubah. Aku masih belum tahu semua jawaban hidupku. Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku ingat kembali ke mana harus melangkah.

Tahun baru bukan sekadar pergantian kalender, tetapi momen spiritual untuk berhijrah. Dari lalai menuju sadar. Dari kesia-siaan menuju kebermanfaatan. Dari dunia semata menuju akhirat yang abadi. 

Bismillah. Hijrah bukan hanya soal pindah, tapi juga tentang menata arah. Bukan untuk status, bukan untuk pamer. Tapi untuk sebuah perjalanan pulang. Pulang ke kampung akhirat. Pelan-pelan, entah kapan bakal sampai. Tapi pasti sampai.

Depok, 1 Muharram 1447 H
Read More

Ramadhan, Mengapa Engkau Datang dan Pergi Tanpa Menyapa Aku?

Leave a Comment

Gema takbir mulai berkumandang, bersahutan dari masjid-masjid di seputaran rumah, menandakan berakhirnya bulan yang penuh berkah ini. Besok, hari raya Idul Fitri akan tiba. Inilah waktu berbuka puasa terakhir. Tapi aku malah ditemani kegelisahan yang menyusup ke dalam hati. 

Sambil menyelesaikan hidangan takjil, aku duduk menatap ponsel yang memperlihatkan kalender digital, dengan tatapan masygul. Esok pagi, harusnya menjadi hari kemenangan. Tapi di dalam hati, yang ada hanya sesak dan penyesalan.

Sejak awal Ramadhan, aku berjanji pada diri sendiri akan lebih mendekat kepada Allah. Sederet daftar amal untuk mengisi bulan Ramadhan telah rapi aku targetkan. Ingin menambah bacaan Al-Qur’an, ingin merutinkan shalat malam, ingin lebih banyak sedekah, ingin lebih sering memohon ampunan, ingin berdoa lebih khusyuk, dan ingin setiap waktu mengisi dengan amal ibadah mumpung bulan ini nilai pahala dilipatgandakan.

Namun, hari demi hari berlalu dengan begitu cepat. Aku santai saja ketika daftar amal itu hanya berakhir dengan keinginan tanpa tindakan. Aku selalu merasa masih punya waktu.

“Besok aku akan mulai,” kataku setiap malam.

Tapi besok selalu saja menjadi lusa, dan lusa bergeser menjadi pekan lalu. Hingga tanpa sadar, inilah buka puasa Ramadhan terakhir tahun ini.

Malam ini, aku hanya bisa menghela napas panjang, menunduk dengan tangan menggenggam erat tasbih yang tak banyak kugunakan selama sebulan ini. Kulirik Al-Qur’an di atas meja yang lebih banyak tergeletak daripada berada dipangkuan untuk kubaca.

Dulu, aku berpikir Ramadhan ini akan berbeda. Aku berjanji akan beribadah lebih sungguh-sungguh. Namun, aku justru lebih banyak menghabiskan banyak waktu dengan hal-hal yang tak perlu. 

Aku terlalu sibuk. Scroll media sosial hingga menjelang tidur, menonton serial film dan drama yang tak ada habis-habisnya, sesekali pergi berbuka di luar bareng teman biar bisa berswafoto dan mengunggahnya, menonton podcast yang lebih banyak bercanda tanpa makna, dan membaca cerita-cerita novel yang sebenarnya memiliki alur yang monoton, jauh dari keindahan dan kedalaman makna dibanding kisah-kisah dalam Al-Qur’an.

Malam ini, aku sadar. Semua itu telah berlalu, dan aku tak bisa mengulanginya. Dada ini terasa semakin sesak. Aku teringat almarhum ayah yang dulu selalu mengingatkan untuk memanfaatkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.

“Doa di bulan ini mustajab, Nak. Jangan sampai kamu menyesal karena menunda-nunda,” katanya suatu saat sambil makan sahur. Tapi aku hanya mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Aku merasa begitu bodoh. Allah telah memberikan sebulan penuh kesempatan, tapi aku justru menyia-nyiakannya. Hingga waktu berbuka puasa Ramadhan terakhir ini, aku belum juga merasakan keindahan qiyamul lail dan kenikmatan membaca Al-Qur'an yang selama ini kuimpikan.

Ramadhan, mengapa engkau datang dan pergi tanpa menyapaku? Tapi rasa kecewa itu segera berganti dengan rasa sesal. Aku sadar, bukan Ramadhan yang tidak menyapa, tapi aku yang justru mengabaikannya.

Tanpa berpikir panjang, Aku bangkit dari tempat duduk, berwudhu hingga air yang membasuh wajah bercampur dengan air mata yang terus menetes. Sesaat setelah menenangkan hati, kulangkahkan kaki ke masjid untuk menunaikan Shalat Maghrib berjamaah. Malam ini, aku tak ingin menunda lagi.

Dengan suara lirih, aku mulai berdoa.

“Ya Allah, ampuni hamba yang telah menyia-nyiakan waktu-Mu. Hamba mohon, beri kekuatan untuk bersegera menunaikan amal-amal yang kemarin tertunda dan izinkan hamba kembali bertemu dengan Ramadhan-Mu di tahun depan. Jangan biarkan hamba mengulang kesalahan ini lagi.”

Doa penuh penyesalan itu akhirnya terucap. Tapi di dasar hati, aku tahu, tidak ada yang bisa menjamin apakah masih akan mendapatkan kesempatan kedua, disapa oleh Ramadhan tahun depan.

Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaahu Allaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil hamd.

Depok, 1 Syawal 1446 H

Read More

Saya Iri di Bulan Ramadhan Ini

Leave a Comment

Di masjid kami, Pak Catur bukan siapa-siapa. Maksudnya, dia hanya jamaah biasa. Meskipun cukup rajin shalat berjamaah, belum pernah sekalipun, atau setidaknya sangat jarang, dia menjadi imam shalat. Masjid kami memang memiliki imam tetap, namun ketika beliau sedang ada udzur, tentu salah satu dari kami harus menjadi imam pengganti. 

Memang, pernah sekali dua kali, ketika tidak banyak yang datang di masjid, Pak Catur terpaksa menjadi imam pengganti. Itu pun dia hanya bersedia untuk shalat sirr, shalat Zuhur atau 'Ashr. 

Sebenarnya wajar kalau Pak Catur jarang menjadi imam shalat. Dia saja sering terlambat tiba di masjid, mengikuti shalat berjamaah sebagai makmum masbuq

Tetapi bukan itu penyebab sebenarnya. Pak Catur memang selalu berusaha menghindar untuk menjadi imam shalat.

"Masih banyak yang lebih layak," katanya sambil mempersilahkan yang lain.

Di lain waktu, ketika diminta menjadi imam, dia menggelengkan kepala: "Saya orangnya pelupa." 

Atau, di kesempatan lain, senyum-senyum tanpa malu membuat pengakuan: "Dosa saya banyak."

Pokoknya, ada saja alasan Pak Catur untuk menolak menjadi imam. 

Pagi ini, setelah hampir semalaman begadang untuk i'tikaf, seusai shalat subuh berjamaah saya berbaring menunggu waktu syuruq tiba. Samar-samar saya dengar Pak Catur sedang membaca Al-Qur'an. Meskipun pelan, karena posisi yang cukup dekat, bacaannya terdengar cukup jelas. 

Sambil terkantuk-kantuk, saya dengarkan ayat Al-Qur'an yang sedang dibaca Pak Catur. Lumayan, bisa ikut dapat pahala meskipun hanya mendengarkan. Terlebih di bulan yang nilai pahalanya dilipatgandakan ini.

Bacaan Pak Catur cukup lancar. Namun, tajwid-nya masih banyak yang belum tepat. Masih sering terpeleset antara idzhar, idgham, iqlab, atau ikhfa'. Apalagi makhorijul huruf-nya, banyak yang berantakan. Belum bisa menempatkan keluarnya huruf dengan pas apakah di tenggorokan, di rongga mulut, di antara dua bibir, di lidah, atau di pangkal hidung. Jangan pula tanya yang lebih detail seperti qalqalah dan hams. Dia juga sulit konsisten mengucapkan huruf yang tebal atau yang tipis, dan seterusnya.

Bagi saya yang kemampuan tajwid juga masih pas-pasan, bacaan Pak Catur sudah lebih dari cukup untuk disimak. Beberapa ayat yang kebetulan hafal, terdengar cukup jelas dan mudah diikuti.

Setelah beberapa saat membaca Al-Qur'an, tiba-tiba suara Pak Catur tercekat. Bahkan samar-samar terdengar isak tangis yang sangat lirih. Barangkali hanya saya yang mendengar, karena posisi jamaah lain cukup jauh.

Saya tidak tahu, apakah dia terisak karena ayat Al-Qur'an yang sedang dibacanya, atau barangkali punya masalah berat yang sedang dihadapi. 

Tapi tetap saja bikin penasaran. Tanpa mengubah posisi tiduran agar tidak menggangunya, saya pertajam pendengaran. Beberapa kali Pak Catur terdiam menenangkan diri. Namun, ketika kembali hendak mulai membaca Al-Qur'an, lagi-lagi suaranya tertahan tergantikan oleh isakan.

Saya semakin penasaran. Masih bertahan dengan posisi berbaring, sehingga tidak tahu apakah ada air mata yang membasahi wajahnya atau tidak.

Beberapa saat Pak Catur masih diam menenangkan diri. Samar-samar, mulai terdengar suaranya. Meskipun lebih lirih, saya tahu beliau tidak sedang membaca Al-Qur'an. Dia membaca shalawat berkali-kali. Puluhan kali atau mungkin ratusan kali karena cukup lama dia bershalawat. 

Saat pelan-pelan, masih dengan suara tercekat, Pak Catur mulai kembali membaca Al-Qur'an, saya semakin penasaran ayat apa yang sedang dibacanya. Untunglah, Pak Catur beberapa kali mengulang bacaan yang saya duga membuat dia terisak. Setelah menyimak beberapa saat, barulah saya sadar.

Allahu Akbar. Allahumma sholli 'ala Muhammad.

Ternyata Pak Catur sedang membaca ayat yang sama dengan yang dibaca oleh sahabat Abu Bakar untuk menenangkan sahabat Umar bin Khatab. Saat itu, sahabat Umar yang terkenal punya karakter kuat, terguncang dengan wafatnya Rasulullah SAW. Bahkan menghunus pedangnya, mengancam orang-orang yang mengatakan Rasulullah SAW telah wafat. Hati sahabat Umar baru luluh setelah mendengar sahabat Abu Bakar membaca ayat Al-Qur'an, sebagaimana ayat yang tadi membuat Pak Catur terisak.

Begitu iri diri ini. Ketika saya hampir terbang ke alam mimpi, rupanya Pak Catur terlempar ke masa dimana dua sahabat utama, semoga Allah merahmati keduanya, mengalami kesedihan mendalam mengetahui kekasihnya telah dipanggil Allah. Kesedihan yang pasti juga dialami oleh seluruh kaum muslimin.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولࣱ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِی۟ن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰۤ أَعۡقَـٰبِكُمۡۚ وَمَن یَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَیۡهِ فَلَن یَضُرَّ ٱللَّهَ شَیۡـࣰٔاۗ وَسَیَجۡزِی ٱللَّهُ ٱلشَّـٰكِرِینَ

“Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran ayat 144)

Pak Catur, pagi ini saya iri. Begitu rindukah Pak Catur hingga menangis mengenang wafat Rasulullah SAW? Begitu besarkah cinta Pak Catur hingga tergoncang dengan ayat yang mengingatkan puncak kesedihan kaum muslimin saat wafat Rasulullah SAW? 

Pak Catur, jika kelak karena rindu dan cinta ini menjadi syafaat hingga Rasulullah SAW menuntunmu menuju surga, mohon gandeng tangan saya untuk bisa bersama-sama ikut berkumpul bersama Rasulullah SAW. 

Sungguh Pak Catur, saya iri. Sementara saya, puluhan bahkan mungkin ratusan kali membaca ayat itu, tanpa sekalipun pernah tersentuh dengan keagungannya.

Depok, 21 Ramadhan 1446 H
Read More

Pemutus Amal Parsial dan Temporal

Leave a Comment
Di sebuah grup medsos, seorang teman akhwat menyatakan bahwa laki-laki lebih beruntung. Bisa terus beribadah tanpa perlu jeda "libur bulanan". Tentu yang dimaksud bisa terus melakukan ibadah-ibadah yang tidak bisa dilakukan oleh seorang perempuan yang sedang haid. Setidaknya terhalang untuk menunaikan shalat, berpuasa, membaca Al-Qur'an (dengan memegang mushaf), thawaf, dan beberapa larangan lain. 

Seperti biasa, ramai tanggapannya. Ada yang serius, ada pula yang santai bahkan bercanda. Namanya juga medsos pertemanan.

Beberapa hari kemudian saya malah kepikiran betapa serius kegelisahan teman akhwat yang bertanya itu. Mengingatkan pada kegelisahan para sahabat miskin ketika mengadu kepada Rasulullah SAW. Mereka merasa ketinggalan amal dibanding dengan para sahabat kaya. Meskipun sama-sama bersemangat melakukan berbagai amal namun sahabat kaya bisa memborong pahala tambahan dengan amalan utama bersedekah dan membebaskan budak. 

Barangkali itu juga yang dirasakannya. Kegelisahan yang muncul karena semangat untuk fastabiqul khairat. Bukan karena iri. Apalagi bentuk protes akan takdirnya sebagai perempuan yang mengalami siklus menstruasi.  
Jika demikian, tidak ada salahnya untuk mencoba belajar dari solusi yang diberikan Rasulullah untuk para sahabat miskin tersebut. 

Pertama, fokus pada amal apa yang bisa dikerjakan. Para sahabat miskin itu memang tidak bisa mengerjakan amalan sedekah ataupun membebaskan budak. Akan tetapi Rasulullah memberikan amalan lain yang setara dan bisa dikerjakan tanpa modal dengan membaca tasbih, hamdalah, dan takbir masing-masing 33 kali setiap selesai shalat. Artinya, ketidakmampuan mengerjakan suatu amal bukan berarti tertutup peluang untuk melaksanakan amal lainnya yang sepadan.

Kedua, fokus pada keutamaan dan sabar menerima "kekurangan". Ketika untuk kedua kalinya para sahabat miskin itu mengadu karena amalan utama yang diajarkan Rasulullah akhirnya diketahui dan ditiru para sahabat kaya, Rasulullah mengingatkan bahwa masing-masing diberikan keutamaan dan Allah SWT memberikan karunia kepada siapa yang dikehendaki. Adakalanya apa yang tidak kita sukai justru itu ketetapan Allah yang akan memberikan hasil terbaik. Sebaliknya yang kita sukai bisa jadi malah berdampak tidak baik bagi kita. 

Saya malah kadang justru merasa iri karena sering menyaksikan muslimah yang begitu bersemangat ketika beribadah. Terlihat bersungguh-sungguh memanfaatkan waktunya untuk memperbanyak amal shalih. Barangkali hal itu dilandasi kesadaran bahwa kesempatan beramal itu bisa sewaktu-waktu terputus. Setiap bulan, para muslimah itu belajar dengan datangnya pemutus amal parsial dan temporer. Parsial karena hanya sebagian amal yang tidak bisa dikerjakan. Temporer karena hanya berlangsung beberapa hari saja. Proses berulang yang menjadikan mereka lebih sadar dan lebih siap menghadapi pemutus amal total dan permanen. Ketetapan Allah berupa ajal, yang tidak bisa ditunda ataupun dimajukan sedetik pun.

Kesadaran itulah barangkali yang menjadikan lebih optimal memanfaatkan waktu untuk beribadah. Misalnya, sering kita saksikan muslimah yang tidak melewatkan berdoa seusai adzan dikumandangkan. Betul bahwa saat itu perempuan haid tidak bisa menjalankan shalat. Akan tetapi bukankah kesempatan berdoa di waktu ijabah antara adzan dan Iqamah tidak tertutup bagi dirinya? 

Bahkan bagi seorang perempuan yang sedang haid tidak ada halangan untuk tetap bangun di sepertiga malam terakhir. Tentu saja bukan untuk melaksanakan shalat tahajud. Masih banyak amalan yang bisa dilakukan di saat Allah turun ke langit dunia. Para muslimah itu sangat yakin saat itu Allah akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa dan memberikan ampunan bagi yang beristighfar. Tidak ada alasan untuk tidak bangun di sepertiga malam terakhir meskipun sedang haid. Bangun, bebersih diri, dan menata hati untuk memperbanyak memohon ampunan di waktu sahur dan khusyuk mendoakan kebaikan, keselamatan, dan kesuksesan untuk anak-anaknya fiddunya wal akhirah.

Begitu beruntung bagi muslimah yang mengalami proses dan belajar dari siklus pemutus amal itu. Bisa jadi, kuantitas ibadah seorang muslimah lebih sedikit tetapi lebih berkualitas karena dibarengi dengan kesadaran akan datangnya waktu terputusnya amal. 

Sungguh beruntung bagi kita yang bisa mengambil pelajaran. Lebih siap menyambut kedatangan pemutus amal, meskipun tidak tahu kapan datangnya. Pasti datang!


Depok, 7 Syawal 1445H
Read More

Jalur Mudah Masuk Surga Cara Mbah Hamid

Leave a Comment
Gus Baha, dalam salah satu ceramah yang saya dengar dari sebuah video, bercerita tentang amalan yang diajarkan Mbah Hamid. Potongan video pendek itu memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang Mbah Hamid. Dugaan saya, Mbah Hamid yang dimaksud Gus Baha adalah KH. Abdul Hamid. Meskipun lahir di Lasem, Rembang, kiai kharismatik itu lebih dikenal sebagai Kiai Abdul Hamid Pasuruan karena mengasuh pesantren hingga meninggal dan dimakamkan di Kota Pasuruan, Jawa Timur.

Mbah Hamid, kata Gus Baha, sering meminta jamaah yang datang untuk menghafal Al-Qur'an. Padahal jamaah yang sowan mbah Hamid itu kebanyakan sudah masuk golongan usia tua. Sudah sepuh-sepuh

Apakah Mbah Hamid mengajarkan metode cepat untuk bisa hafal Al-Qur'an? Atau Mbah Hamid memiliki karomah membuat orang hafal Al-Qur'an seketika? Ternyata tidak. Mbah Hamid bahkan tidak menetapkan target waktu untuk menghafal Al-Qur'an.  

Hasilnya sudah bisa diduga. Ada jamaah Mbah Hamid yang baru mulai proses menghafal sudah meninggal dunia. Jamaah lain hanya hafal 1 juz saat ajal datang. Ada juga yang sanggup menyelesaikan hafalan sampai 4 juz, dan seterusnya. 

Secara logika, tentu Mbah Hamid menyadari jamaahnya bakal sulit menyelesaikan hafal Al-Qur'an 30 juz. Lantas, apa hikmah dari amalan yang diajarkan Mbah Hamid? Ternyata, dengan meminta menghafal Al-Qur'an yang butuh waktu, Mbah Hamid ingin agar jamaahnya mendapat kemudahan jalan masuk surga. Mbah Hamid, kata Gus Baha berpegang pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

"Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga".

Begitulah cerita Gus Baha. Mbah Hamid meyakini bahwa selama seseorang sedang dalam proses menghafal Al-Qur'an, maka orang tersebut sedang menempuh jalan mencari ilmu. Inilah jalur mudah masuk surga yang diajarkan oleh Mbah Hamid. 

Tentu saja banyak amal lain sebagai jalan untuk mencari ilmu. Bahkan banyak amalan lain yang bisa mengantar masuk surga. Namun, amalan menghafal Al-Qur'an yang diajarkan Mbah Hamid ini menarik karena berpotensi menjadi proses pembelajaran sepanjang hayat.

Meskipun saat ini banyak inovasi metode menghafal Al-Qur'an secara cepat, namun kemampuan setiap orang berbeda-beda. Kalaupun ternyata sudah bisa menyelesaikan hafal 30 juz, masih perlu terus menjaganya dengan murajaah. Perlu mengulang-ulang membaca dan menghafal agar hafalan tidak hilang karena sifat lupa yang dimiliki manusia. Dan itu berarti, proses mencari ilmu akan terus dilakukan selama hayat masih dikandung badan. 

Terlebih lagi, jika kita bersedia meluangkan lebih banyak perhatian untuk belajar Al-Qur'an. Banyak banget hal yang bisa menjadi jalan belajar Al-Qur'an selain dengan menghafalnya. Pertama, memperbaiki bacaan dengan menyempurnakan pengucapan huruf (makharijul huruf) dan kaidah tajwid lainnya yang biasa dikenal dengan istilah tahsin Al-Qur'an. Kedua, belajar bahasa Arab yang lebih difokuskan untuk membaca kitab berbahasa Arab agar ketika membaca Al-Qur'an lebih bisa mengerti artinya. Ketiga, mengikuti kajian tafsir Al-Qur'an agar lebih paham maknanya mengingat Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia. Tanpa paham maknanya, akan sulit untuk bisa mendapat petunjuk dari Al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia.

Semua proses belajar itu, baik menghafal, membaca secara benar, mengerti arti, dan memahami maknanya insyaallah akan menjadi proses pembelajaran agar lebih mencintai Al-Qur'an dan lebih bersemangat mengamalkannya.

Sebagaimana yang diajarkan Mbah Hamid, tidak ada kata terlambat untuk mulai menghafal Al-Qur'an. Saat ini, berapa pun usia kita, adalah saat yang tepat untuk mulai menghafal Al-Qur'an. Sambil terus menjaga niat agar dengan menghafal Al-Qur'an itu senantiasa berada di jalur para pencari ilmu. Agar ketika panggilan itu datang, Allah ridlo dan memberikan kemudahan jalan masuk surga.

Syukur-syukur bisa sampai hafal 30 juz. Mungkin juga, di sisa usia ini hanya hafal beberapa juz atau bahkan mungkin beberapa halaman. Tak mengapa. Nikmati saja prosesnya selama hayat masih dikandung badan. 

Maturnuwon Mbah Kiai Hamid. 
Maturnuwon Gus Baha.
Read More

Jika Lelah, Masih Ada Tiang Masjid Untuk Bersandar

Leave a Comment
Anda yang pernah shalat di Masjid Nabawi, sepertinya tidak ada yang pernah menghitung jumlah tiang yang ada. Selain perlu waktu lama karena jumlahnya ratusan, juga tidak ada keutamaan untuk menghitung tiang-tiang itu. Paling-paling menandai nomor tiang untuk memudahkan mengambil alas kaki yang disimpan pada saat shalat. 

Memang ada beberapa tiang Masjid Nabawi yang memiliki nilai sejarah. Semuanya terletak di area Raudhah. Selebihnya adalah tiang-tiang yang berfungsi untuk menopang bangunan perluasan yang saat ini luasnya sudah lebih dari 2.000 meter persegi. Belum lagi halamannya yang juga dipenuhi ratusan tiang penyangga payung raksasa yang dibuka dan ditutup secara otomatis untuk menjaga kenyamanan jamaah saat panas atau hujan.

Kebanyakan bangunan yang luas memang memerlukan tiang untuk menyeimbangkan beban bangunan di atasnya. Meskipun demikian, tentu perlu dihitung kebutuhannya agar lebih efisien sekaligus untuk tetap terjaga estetika bangunannya. Bukan berarti tiang yang berjumlah banyak pasti mengganggu keindahan pandangan mata lho. Contohnya Masjid Nabawi, yang memiliki ratusan tiang dengan ornamen khas. Justru ratusan tiangnya menjadi daya tarik. Jamaah biasanya menjadikan deretan tiang-tiang itu sebagai latar belakang berfoto. Mengenang tiang-tiang itu biasanya memang menumbuhkan kerinduan untuk bisa kembali menunaikan shalat di Masjid yang memiliki keutamaan 1.000 kali dibanding shalat di masjid-masjid lain. 

Di Indonesia sendiri, banyak juga masjid yang dibangun dengan tiang-tiang yang cukup banyak. Salah satunya, bagi Anda yang sedang di Kota Jambi dapat shalat di Masjid Agung Al Falah. Masjid yang terletak tidak jauh dari pantai Ancol yang menjadi salah satu ikon kota Jambi itu dikenal juga dengan sebutan masjid seribu tiang. Meskipun jumlah sesungguhnya jauh dari angka itu, tiang-tiang di dalamnya memang terlihat sangat banyak.

Beda lagi dengan Masjid Agung Demak yang memiliki empat tiang utama di bagian dalam masjid. Salah satunya dibangun Sunan Kalijaga dari serpihan-serpihan sisa kayu yang dalam bahasa Jawa disebut tatal. Konon, dengan itu Wali Songo mengingatkan umat Islam agar senantiasa berpegang pada 4 pilar sumber hukum Islam: Al-Qur'an, Hadits, Ijma, dan Qiyas.

Belakangan ada juga trend masjid tanpa tiang di bagian tengahnya. Menyediakan ruang shalat yang terasa lebih lega. Contohnya Masjid Al-Jabbar di Kota Bandung yang sempat viral beberapa waktu lalu.

Berapa jumlah tiang penyangga juga jadi salah satu bahan bahasan saat beberapa tahun lalu Masjid Baitul Iman di komplek kami, Depok Maharaja RW 16 dibangun ulang agar lebih luas. Tanpa mengabaikan kebutuhan struktur, banyak jamaah yang menginginkan pengurangan jumlah tiang yang berdiri di dalam masjid dengan alasan dapat memutus shaf, memberikan kesan sempit, untuk efisiensi biaya, dan beberapa alasan lain terkait estetika. Saya tidak ingat persis berapa jumlah tiang yang akhirnya dipangkas dari desain rencana awal pembangunan. Tersisa enam buah tiang di ruang utama tempat shalat berjamaah. Sisanya beberapa tiang lain yang letaknya tersembunyi karena menyatu dengan dinding.

Belakangan setelah masjid terbangun kami menyadari bahwa keberadaan tiang memang bukan sekadar penopang struktur bangunan. Sekitar tiang menjadi tempat favorit beberapa jamaah saat mengikuti kajian pekanan. Duduk bersandar mengikuti kajian memang bikin tambah betah berlama-lama di masjid.

Bahkan ada juga jamaah yang memanfaatkan tiang tidak hanya ketika ada kajian. Hampir setiap kali selesai menunaikan shalat berjamaah, beranjak ke belakang untuk bersandar di salah satu tiang. Lebih lega dan tidak gerah untuk bisa berlama-lama berdzikir dan memperbanyak doa. Saking seringnya kebiasaan itu, sambil berseloroh kami menyebutnya sebagi tiang Al Barkah. Menyesuaikan dengan nama jamaah yang  menjadikan tiang itu sebagai langganan bersandar. 

Beberapa hari ini, tidak ada jamaah yang bersandar di tiang Al Barkah kecuali saat kajian saja. Pelanggan setianya memang sedang melakukan safar ke tanah suci untuk memulai rangkaian menunaikan ibadah haji. Barangkali saat ini beliau sedang bersandar di salah satu tiang Masjid Nabawi. Terbawa kebiasaan ketika shalat berjamaah di tanah air. Sambil mendoakan agar seluruh jamaah Masjid Baitul Iman bisa segera berangkat atau kembali menunaikan shalat di Masjid Nabawi, Masjidil Haraam, dan menunaikan ibadah umrah dan haji.

Semoga Allah memberikan kesehatan dan kemudahan bagi seluruh calon jamaah haji 1444 H untuk menunaikan seluruh rangkaian ibadah haji dan mendapatkan haji mabrur. 
Read More
Previous PostPostingan Lama Beranda
Featured Posts