Tentang Blog

Catatan ringan hasil mengumpulkan kembali ingatan tentang perjalanan yang telah dilalui. Bukan dimaksudkan untuk memberikan panduan perjalanan, hanya sebagai testimoni betapa mengagumkan negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.

author

Ramadhan, Mengapa Engkau Datang dan Pergi Tanpa Menyapa Aku?

Leave a Comment

Gema takbir mulai berkumandang, bersahutan dari masjid-masjid di seputaran rumah, menandakan berakhirnya bulan yang penuh berkah ini. Besok, hari raya Idul Fitri akan tiba. Inilah waktu berbuka puasa terakhir. Tapi aku malah ditemani kegelisahan yang menyusup ke dalam hati. 

Sambil menyelesaikan hidangan takjil, aku duduk menatap ponsel yang memperlihatkan kalender digital, dengan tatapan masygul. Esok pagi, harusnya menjadi hari kemenangan. Tapi di dalam hati, yang ada hanya sesak dan penyesalan.

Sejak awal Ramadhan, aku berjanji pada diri sendiri akan lebih mendekat kepada Allah. Sederet daftar amal untuk mengisi bulan Ramadhan telah rapi aku targetkan. Ingin menambah bacaan Al-Qur’an, ingin merutinkan shalat malam, ingin lebih banyak sedekah, ingin lebih sering memohon ampunan, ingin berdoa lebih khusyuk, dan ingin setiap waktu mengisi dengan amal ibadah mumpung bulan ini nilai pahala dilipatgandakan.

Namun, hari demi hari berlalu dengan begitu cepat. Aku santai saja ketika daftar amal itu hanya berakhir dengan keinginan tanpa tindakan. Aku selalu merasa masih punya waktu.

“Besok aku akan mulai,” kataku setiap malam.

Tapi besok selalu saja menjadi lusa, dan lusa bergeser menjadi pekan lalu. Hingga tanpa sadar, inilah buka puasa Ramadhan terakhir tahun ini.

Malam ini, aku hanya bisa menghela napas panjang, menunduk dengan tangan menggenggam erat tasbih yang tak banyak kugunakan selama sebulan ini. Kulirik Al-Qur’an di atas meja yang lebih banyak tergeletak daripada berada dipangkuan untuk kubaca.

Dulu, aku berpikir Ramadhan ini akan berbeda. Aku berjanji akan beribadah lebih sungguh-sungguh. Namun, aku justru lebih banyak menghabiskan banyak waktu dengan hal-hal yang tak perlu. 

Aku terlalu sibuk. Scroll media sosial hingga menjelang tidur, menonton serial film dan drama yang tak ada habis-habisnya, sesekali pergi berbuka di luar bareng teman biar bisa berswafoto dan mengunggahnya, menonton podcast yang lebih banyak bercanda tanpa makna, dan membaca cerita-cerita novel yang sebenarnya memiliki alur yang monoton, jauh dari keindahan dan kedalaman makna dibanding kisah-kisah dalam Al-Qur’an.

Malam ini, aku sadar. Semua itu telah berlalu, dan aku tak bisa mengulanginya. Dada ini terasa semakin sesak. Aku teringat almarhum ayah yang dulu selalu mengingatkan untuk memanfaatkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.

“Doa di bulan ini mustajab, Nak. Jangan sampai kamu menyesal karena menunda-nunda,” katanya suatu saat sambil makan sahur. Tapi aku hanya mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Aku merasa begitu bodoh. Allah telah memberikan sebulan penuh kesempatan, tapi aku justru menyia-nyiakannya. Hingga waktu berbuka puasa Ramadhan terakhir ini, aku belum juga merasakan keindahan qiyamul lail dan kenikmatan membaca Al-Qur'an yang selama ini kuimpikan.

Ramadhan, mengapa engkau datang dan pergi tanpa menyapaku? Tapi rasa kecewa itu segera berganti dengan rasa sesal. Aku sadar, bukan Ramadhan yang tidak menyapa, tapi aku yang justru mengabaikannya.

Tanpa berpikir panjang, Aku bangkit dari tempat duduk, berwudhu hingga air yang membasuh wajah bercampur dengan air mata yang terus menetes. Sesaat setelah menenangkan hati, kulangkahkan kaki ke masjid untuk menunaikan Shalat Maghrib berjamaah. Malam ini, aku tak ingin menunda lagi.

Dengan suara lirih, aku mulai berdoa.

“Ya Allah, ampuni hamba yang telah menyia-nyiakan waktu-Mu. Hamba mohon, beri kekuatan untuk bersegera menunaikan amal-amal yang kemarin tertunda dan izinkan hamba kembali bertemu dengan Ramadhan-Mu di tahun depan. Jangan biarkan hamba mengulang kesalahan ini lagi.”

Doa penuh penyesalan itu akhirnya terucap. Tapi di dasar hati, aku tahu, tidak ada yang bisa menjamin apakah masih akan mendapatkan kesempatan kedua, disapa oleh Ramadhan tahun depan.

Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaahu Allaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil hamd.

Depok, 1 Syawal 1446 H

Read More

Saya Iri di Bulan Ramadhan Ini

Leave a Comment

Di masjid kami, Pak Catur bukan siapa-siapa. Maksudnya, dia hanya jamaah biasa. Meskipun cukup rajin shalat berjamaah, belum pernah sekalipun, atau setidaknya sangat jarang, dia menjadi imam shalat. Masjid kami memang memiliki imam tetap, namun ketika beliau sedang ada udzur, tentu salah satu dari kami harus menjadi imam pengganti. 

Memang, pernah sekali dua kali, ketika tidak banyak yang datang di masjid, Pak Catur terpaksa menjadi imam pengganti. Itu pun dia hanya bersedia untuk shalat sirr, shalat Zuhur atau 'Ashr. 

Sebenarnya wajar kalau Pak Catur jarang menjadi imam shalat. Dia saja sering terlambat tiba di masjid, mengikuti shalat berjamaah sebagai makmum masbuq

Tetapi bukan itu penyebab sebenarnya. Pak Catur memang selalu berusaha menghindar untuk menjadi imam shalat.

"Masih banyak yang lebih layak," katanya sambil mempersilahkan yang lain.

Di lain waktu, ketika diminta menjadi imam, dia menggelengkan kepala: "Saya orangnya pelupa." 

Atau, di kesempatan lain, senyum-senyum tanpa malu membuat pengakuan: "Dosa saya banyak."

Pokoknya, ada saja alasan Pak Catur untuk menolak menjadi imam. 

Pagi ini, setelah hampir semalaman begadang untuk i'tikaf, seusai shalat subuh berjamaah saya berbaring menunggu waktu syuruq tiba. Samar-samar saya dengar Pak Catur sedang membaca Al-Qur'an. Meskipun pelan, karena posisi yang cukup dekat, bacaannya terdengar cukup jelas. 

Sambil terkantuk-kantuk, saya dengarkan ayat Al-Qur'an yang sedang dibaca Pak Catur. Lumayan, bisa ikut dapat pahala meskipun hanya mendengarkan. Terlebih di bulan yang nilai pahalanya dilipatgandakan ini.

Bacaan Pak Catur cukup lancar. Namun, tajwid-nya masih banyak yang belum tepat. Masih sering terpeleset antara idzhar, idgham, iqlab, atau ikhfa'. Apalagi makhorijul huruf-nya, banyak yang berantakan. Belum bisa menempatkan keluarnya huruf dengan pas apakah di tenggorokan, di rongga mulut, di antara dua bibir, di lidah, atau di pangkal hidung. Jangan pula tanya yang lebih detail seperti qalqalah dan hams. Dia juga sulit konsisten mengucapkan huruf yang tebal atau yang tipis, dan seterusnya.

Bagi saya yang kemampuan tajwid juga masih pas-pasan, bacaan Pak Catur sudah lebih dari cukup untuk disimak. Beberapa ayat yang kebetulan hafal, terdengar cukup jelas dan mudah diikuti.

Setelah beberapa saat membaca Al-Qur'an, tiba-tiba suara Pak Catur tercekat. Bahkan samar-samar terdengar isak tangis yang sangat lirih. Barangkali hanya saya yang mendengar, karena posisi jamaah lain cukup jauh.

Saya tidak tahu, apakah dia terisak karena ayat Al-Qur'an yang sedang dibacanya, atau barangkali punya masalah berat yang sedang dihadapi. 

Tapi tetap saja bikin penasaran. Tanpa mengubah posisi tiduran agar tidak menggangunya, saya pertajam pendengaran. Beberapa kali Pak Catur terdiam menenangkan diri. Namun, ketika kembali hendak mulai membaca Al-Qur'an, lagi-lagi suaranya tertahan tergantikan oleh isakan.

Saya semakin penasaran. Masih bertahan dengan posisi berbaring, sehingga tidak tahu apakah ada air mata yang membasahi wajahnya atau tidak.

Beberapa saat Pak Catur masih diam menenangkan diri. Samar-samar, mulai terdengar suaranya. Meskipun lebih lirih, saya tahu beliau tidak sedang membaca Al-Qur'an. Dia membaca shalawat berkali-kali. Puluhan kali atau mungkin ratusan kali karena cukup lama dia bershalawat. 

Saat pelan-pelan, masih dengan suara tercekat, Pak Catur mulai kembali membaca Al-Qur'an, saya semakin penasaran ayat apa yang sedang dibacanya. Untunglah, Pak Catur beberapa kali mengulang bacaan yang saya duga membuat dia terisak. Setelah menyimak beberapa saat, barulah saya sadar.

Allahu Akbar. Allahumma sholli 'ala Muhammad.

Ternyata Pak Catur sedang membaca ayat yang sama dengan yang dibaca oleh sahabat Abu Bakar untuk menenangkan sahabat Umar bin Khatab. Saat itu, sahabat Umar yang terkenal punya karakter kuat, terguncang dengan wafatnya Rasulullah SAW. Bahkan menghunus pedangnya, mengancam orang-orang yang mengatakan Rasulullah SAW telah wafat. Hati sahabat Umar baru luluh setelah mendengar sahabat Abu Bakar membaca ayat Al-Qur'an, sebagaimana ayat yang tadi membuat Pak Catur terisak.

Begitu iri diri ini. Ketika saya hampir terbang ke alam mimpi, rupanya Pak Catur terlempar ke masa dimana dua sahabat utama, semoga Allah merahmati keduanya, mengalami kesedihan mendalam mengetahui kekasihnya telah dipanggil Allah. Kesedihan yang pasti juga dialami oleh seluruh kaum muslimin.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولࣱ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِی۟ن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰۤ أَعۡقَـٰبِكُمۡۚ وَمَن یَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَیۡهِ فَلَن یَضُرَّ ٱللَّهَ شَیۡـࣰٔاۗ وَسَیَجۡزِی ٱللَّهُ ٱلشَّـٰكِرِینَ

“Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran ayat 144)

Pak Catur, pagi ini saya iri. Begitu rindukah Pak Catur hingga menangis mengenang wafat Rasulullah SAW? Begitu besarkah cinta Pak Catur hingga tergoncang dengan ayat yang mengingatkan puncak kesedihan kaum muslimin saat wafat Rasulullah SAW? 

Pak Catur, jika kelak karena rindu dan cinta ini menjadi syafaat hingga Rasulullah SAW menuntunmu menuju surga, mohon gandeng tangan saya untuk bisa bersama-sama ikut berkumpul bersama Rasulullah SAW. 

Sungguh Pak Catur, saya iri. Sementara saya, puluhan bahkan mungkin ratusan kali membaca ayat itu, tanpa sekalipun pernah tersentuh dengan keagungannya.

Depok, 21 Ramadhan 1446 H
Read More

Pemutus Amal Parsial dan Temporal

Leave a Comment
Di sebuah grup medsos, seorang teman akhwat menyatakan bahwa laki-laki lebih beruntung. Bisa terus beribadah tanpa perlu jeda "libur bulanan". Tentu yang dimaksud bisa terus melakukan ibadah-ibadah yang tidak bisa dilakukan oleh seorang perempuan yang sedang haid. Setidaknya terhalang untuk menunaikan shalat, berpuasa, membaca Al-Qur'an (dengan memegang mushaf), thawaf, dan beberapa larangan lain. 

Seperti biasa, ramai tanggapannya. Ada yang serius, ada pula yang santai bahkan bercanda. Namanya juga medsos pertemanan.

Beberapa hari kemudian saya malah kepikiran betapa serius kegelisahan teman akhwat yang bertanya itu. Mengingatkan pada kegelisahan para sahabat miskin ketika mengadu kepada Rasulullah SAW. Mereka merasa ketinggalan amal dibanding dengan para sahabat kaya. Meskipun sama-sama bersemangat melakukan berbagai amal namun sahabat kaya bisa memborong pahala tambahan dengan amalan utama bersedekah dan membebaskan budak. 

Barangkali itu juga yang dirasakannya. Kegelisahan yang muncul karena semangat untuk fastabiqul khairat. Bukan karena iri. Apalagi bentuk protes akan takdirnya sebagai perempuan yang mengalami siklus menstruasi.  
Jika demikian, tidak ada salahnya untuk mencoba belajar dari solusi yang diberikan Rasulullah untuk para sahabat miskin tersebut. 

Pertama, fokus pada amal apa yang bisa dikerjakan. Para sahabat miskin itu memang tidak bisa mengerjakan amalan sedekah ataupun membebaskan budak. Akan tetapi Rasulullah memberikan amalan lain yang setara dan bisa dikerjakan tanpa modal dengan membaca tasbih, hamdalah, dan takbir masing-masing 33 kali setiap selesai shalat. Artinya, ketidakmampuan mengerjakan suatu amal bukan berarti tertutup peluang untuk melaksanakan amal lainnya yang sepadan.

Kedua, fokus pada keutamaan dan sabar menerima "kekurangan". Ketika untuk kedua kalinya para sahabat miskin itu mengadu karena amalan utama yang diajarkan Rasulullah akhirnya diketahui dan ditiru para sahabat kaya, Rasulullah mengingatkan bahwa masing-masing diberikan keutamaan dan Allah SWT memberikan karunia kepada siapa yang dikehendaki. Adakalanya apa yang tidak kita sukai justru itu ketetapan Allah yang akan memberikan hasil terbaik. Sebaliknya yang kita sukai bisa jadi malah berdampak tidak baik bagi kita. 

Saya malah kadang justru merasa iri karena sering menyaksikan muslimah yang begitu bersemangat ketika beribadah. Terlihat bersungguh-sungguh memanfaatkan waktunya untuk memperbanyak amal shalih. Barangkali hal itu dilandasi kesadaran bahwa kesempatan beramal itu bisa sewaktu-waktu terputus. Setiap bulan, para muslimah itu belajar dengan datangnya pemutus amal parsial dan temporer. Parsial karena hanya sebagian amal yang tidak bisa dikerjakan. Temporer karena hanya berlangsung beberapa hari saja. Proses berulang yang menjadikan mereka lebih sadar dan lebih siap menghadapi pemutus amal total dan permanen. Ketetapan Allah berupa ajal, yang tidak bisa ditunda ataupun dimajukan sedetik pun.

Kesadaran itulah barangkali yang menjadikan lebih optimal memanfaatkan waktu untuk beribadah. Misalnya, sering kita saksikan muslimah yang tidak melewatkan berdoa seusai adzan dikumandangkan. Betul bahwa saat itu perempuan haid tidak bisa menjalankan shalat. Akan tetapi bukankah kesempatan berdoa di waktu ijabah antara adzan dan Iqamah tidak tertutup bagi dirinya? 

Bahkan bagi seorang perempuan yang sedang haid tidak ada halangan untuk tetap bangun di sepertiga malam terakhir. Tentu saja bukan untuk melaksanakan shalat tahajud. Masih banyak amalan yang bisa dilakukan di saat Allah turun ke langit dunia. Para muslimah itu sangat yakin saat itu Allah akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa dan memberikan ampunan bagi yang beristighfar. Tidak ada alasan untuk tidak bangun di sepertiga malam terakhir meskipun sedang haid. Bangun, bebersih diri, dan menata hati untuk memperbanyak memohon ampunan di waktu sahur dan khusyuk mendoakan kebaikan, keselamatan, dan kesuksesan untuk anak-anaknya fiddunya wal akhirah.

Begitu beruntung bagi muslimah yang mengalami proses dan belajar dari siklus pemutus amal itu. Bisa jadi, kuantitas ibadah seorang muslimah lebih sedikit tetapi lebih berkualitas karena dibarengi dengan kesadaran akan datangnya waktu terputusnya amal. 

Sungguh beruntung bagi kita yang bisa mengambil pelajaran. Lebih siap menyambut kedatangan pemutus amal, meskipun tidak tahu kapan datangnya. Pasti datang!


Depok, 7 Syawal 1445H
Read More

Jalur Mudah Masuk Surga Cara Mbah Hamid

Leave a Comment
Gus Baha, dalam salah satu ceramah yang saya dengar dari sebuah video, bercerita tentang amalan yang diajarkan Mbah Hamid. Potongan video pendek itu memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang Mbah Hamid. Dugaan saya, Mbah Hamid yang dimaksud Gus Baha adalah KH. Abdul Hamid. Meskipun lahir di Lasem, Rembang, kiai kharismatik itu lebih dikenal sebagai Kiai Abdul Hamid Pasuruan karena mengasuh pesantren hingga meninggal dan dimakamkan di Kota Pasuruan, Jawa Timur.

Mbah Hamid, kata Gus Baha, sering meminta jamaah yang datang untuk menghafal Al-Qur'an. Padahal jamaah yang sowan mbah Hamid itu kebanyakan sudah masuk golongan usia tua. Sudah sepuh-sepuh

Apakah Mbah Hamid mengajarkan metode cepat untuk bisa hafal Al-Qur'an? Atau Mbah Hamid memiliki karomah membuat orang hafal Al-Qur'an seketika? Ternyata tidak. Mbah Hamid bahkan tidak menetapkan target waktu untuk menghafal Al-Qur'an.  

Hasilnya sudah bisa diduga. Ada jamaah Mbah Hamid yang baru mulai proses menghafal sudah meninggal dunia. Jamaah lain hanya hafal 1 juz saat ajal datang. Ada juga yang sanggup menyelesaikan hafalan sampai 4 juz, dan seterusnya. 

Secara logika, tentu Mbah Hamid menyadari jamaahnya bakal sulit menyelesaikan hafal Al-Qur'an 30 juz. Lantas, apa hikmah dari amalan yang diajarkan Mbah Hamid? Ternyata, dengan meminta menghafal Al-Qur'an yang butuh waktu, Mbah Hamid ingin agar jamaahnya mendapat kemudahan jalan masuk surga. Mbah Hamid, kata Gus Baha berpegang pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

"Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga".

Begitulah cerita Gus Baha. Mbah Hamid meyakini bahwa selama seseorang sedang dalam proses menghafal Al-Qur'an, maka orang tersebut sedang menempuh jalan mencari ilmu. Inilah jalur mudah masuk surga yang diajarkan oleh Mbah Hamid. 

Tentu saja banyak amal lain sebagai jalan untuk mencari ilmu. Bahkan banyak amalan lain yang bisa mengantar masuk surga. Namun, amalan menghafal Al-Qur'an yang diajarkan Mbah Hamid ini menarik karena berpotensi menjadi proses pembelajaran sepanjang hayat.

Meskipun saat ini banyak inovasi metode menghafal Al-Qur'an secara cepat, namun kemampuan setiap orang berbeda-beda. Kalaupun ternyata sudah bisa menyelesaikan hafal 30 juz, masih perlu terus menjaganya dengan murajaah. Perlu mengulang-ulang membaca dan menghafal agar hafalan tidak hilang karena sifat lupa yang dimiliki manusia. Dan itu berarti, proses mencari ilmu akan terus dilakukan selama hayat masih dikandung badan. 

Terlebih lagi, jika kita bersedia meluangkan lebih banyak perhatian untuk belajar Al-Qur'an. Banyak banget hal yang bisa menjadi jalan belajar Al-Qur'an selain dengan menghafalnya. Pertama, memperbaiki bacaan dengan menyempurnakan pengucapan huruf (makharijul huruf) dan kaidah tajwid lainnya yang biasa dikenal dengan istilah tahsin Al-Qur'an. Kedua, belajar bahasa Arab yang lebih difokuskan untuk membaca kitab berbahasa Arab agar ketika membaca Al-Qur'an lebih bisa mengerti artinya. Ketiga, mengikuti kajian tafsir Al-Qur'an agar lebih paham maknanya mengingat Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia. Tanpa paham maknanya, akan sulit untuk bisa mendapat petunjuk dari Al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia.

Semua proses belajar itu, baik menghafal, membaca secara benar, mengerti arti, dan memahami maknanya insyaallah akan menjadi proses pembelajaran agar lebih mencintai Al-Qur'an dan lebih bersemangat mengamalkannya.

Sebagaimana yang diajarkan Mbah Hamid, tidak ada kata terlambat untuk mulai menghafal Al-Qur'an. Saat ini, berapa pun usia kita, adalah saat yang tepat untuk mulai menghafal Al-Qur'an. Sambil terus menjaga niat agar dengan menghafal Al-Qur'an itu senantiasa berada di jalur para pencari ilmu. Agar ketika panggilan itu datang, Allah ridlo dan memberikan kemudahan jalan masuk surga.

Syukur-syukur bisa sampai hafal 30 juz. Mungkin juga, di sisa usia ini hanya hafal beberapa juz atau bahkan mungkin beberapa halaman. Tak mengapa. Nikmati saja prosesnya selama hayat masih dikandung badan. 

Maturnuwon Mbah Kiai Hamid. 
Maturnuwon Gus Baha.
Read More

Jika Lelah, Masih Ada Tiang Masjid Untuk Bersandar

Leave a Comment
Anda yang pernah shalat di Masjid Nabawi, sepertinya tidak ada yang pernah menghitung jumlah tiang yang ada. Selain perlu waktu lama karena jumlahnya ratusan, juga tidak ada keutamaan untuk menghitung tiang-tiang itu. Paling-paling menandai nomor tiang untuk memudahkan mengambil alas kaki yang disimpan pada saat shalat. 

Memang ada beberapa tiang Masjid Nabawi yang memiliki nilai sejarah. Semuanya terletak di area Raudhah. Selebihnya adalah tiang-tiang yang berfungsi untuk menopang bangunan perluasan yang saat ini luasnya sudah lebih dari 2.000 meter persegi. Belum lagi halamannya yang juga dipenuhi ratusan tiang penyangga payung raksasa yang dibuka dan ditutup secara otomatis untuk menjaga kenyamanan jamaah saat panas atau hujan.

Kebanyakan bangunan yang luas memang memerlukan tiang untuk menyeimbangkan beban bangunan di atasnya. Meskipun demikian, tentu perlu dihitung kebutuhannya agar lebih efisien sekaligus untuk tetap terjaga estetika bangunannya. Bukan berarti tiang yang berjumlah banyak pasti mengganggu keindahan pandangan mata lho. Contohnya Masjid Nabawi, yang memiliki ratusan tiang dengan ornamen khas. Justru ratusan tiangnya menjadi daya tarik. Jamaah biasanya menjadikan deretan tiang-tiang itu sebagai latar belakang berfoto. Mengenang tiang-tiang itu biasanya memang menumbuhkan kerinduan untuk bisa kembali menunaikan shalat di Masjid yang memiliki keutamaan 1.000 kali dibanding shalat di masjid-masjid lain. 

Di Indonesia sendiri, banyak juga masjid yang dibangun dengan tiang-tiang yang cukup banyak. Salah satunya, bagi Anda yang sedang di Kota Jambi dapat shalat di Masjid Agung Al Falah. Masjid yang terletak tidak jauh dari pantai Ancol yang menjadi salah satu ikon kota Jambi itu dikenal juga dengan sebutan masjid seribu tiang. Meskipun jumlah sesungguhnya jauh dari angka itu, tiang-tiang di dalamnya memang terlihat sangat banyak.

Beda lagi dengan Masjid Agung Demak yang memiliki empat tiang utama di bagian dalam masjid. Salah satunya dibangun Sunan Kalijaga dari serpihan-serpihan sisa kayu yang dalam bahasa Jawa disebut tatal. Konon, dengan itu Wali Songo mengingatkan umat Islam agar senantiasa berpegang pada 4 pilar sumber hukum Islam: Al-Qur'an, Hadits, Ijma, dan Qiyas.

Belakangan ada juga trend masjid tanpa tiang di bagian tengahnya. Menyediakan ruang shalat yang terasa lebih lega. Contohnya Masjid Al-Jabbar di Kota Bandung yang sempat viral beberapa waktu lalu.

Berapa jumlah tiang penyangga juga jadi salah satu bahan bahasan saat beberapa tahun lalu Masjid Baitul Iman di komplek kami, Depok Maharaja RW 16 dibangun ulang agar lebih luas. Tanpa mengabaikan kebutuhan struktur, banyak jamaah yang menginginkan pengurangan jumlah tiang yang berdiri di dalam masjid dengan alasan dapat memutus shaf, memberikan kesan sempit, untuk efisiensi biaya, dan beberapa alasan lain terkait estetika. Saya tidak ingat persis berapa jumlah tiang yang akhirnya dipangkas dari desain rencana awal pembangunan. Tersisa enam buah tiang di ruang utama tempat shalat berjamaah. Sisanya beberapa tiang lain yang letaknya tersembunyi karena menyatu dengan dinding.

Belakangan setelah masjid terbangun kami menyadari bahwa keberadaan tiang memang bukan sekadar penopang struktur bangunan. Sekitar tiang menjadi tempat favorit beberapa jamaah saat mengikuti kajian pekanan. Duduk bersandar mengikuti kajian memang bikin tambah betah berlama-lama di masjid.

Bahkan ada juga jamaah yang memanfaatkan tiang tidak hanya ketika ada kajian. Hampir setiap kali selesai menunaikan shalat berjamaah, beranjak ke belakang untuk bersandar di salah satu tiang. Lebih lega dan tidak gerah untuk bisa berlama-lama berdzikir dan memperbanyak doa. Saking seringnya kebiasaan itu, sambil berseloroh kami menyebutnya sebagi tiang Al Barkah. Menyesuaikan dengan nama jamaah yang  menjadikan tiang itu sebagai langganan bersandar. 

Beberapa hari ini, tidak ada jamaah yang bersandar di tiang Al Barkah kecuali saat kajian saja. Pelanggan setianya memang sedang melakukan safar ke tanah suci untuk memulai rangkaian menunaikan ibadah haji. Barangkali saat ini beliau sedang bersandar di salah satu tiang Masjid Nabawi. Terbawa kebiasaan ketika shalat berjamaah di tanah air. Sambil mendoakan agar seluruh jamaah Masjid Baitul Iman bisa segera berangkat atau kembali menunaikan shalat di Masjid Nabawi, Masjidil Haraam, dan menunaikan ibadah umrah dan haji.

Semoga Allah memberikan kesehatan dan kemudahan bagi seluruh calon jamaah haji 1444 H untuk menunaikan seluruh rangkaian ibadah haji dan mendapatkan haji mabrur. 
Read More

Oleh-oleh Kepulangan Haji

Leave a Comment
Banyak orang yang mengalami perubahan sepulang dari menunaikan ibadah haji. Tentu saja maksudnya adalah perubahan ke arah yang lebih positif. Ada yang shalatnya makin khusyuk, tak jarang sampai meneteskan air mata ketika menjalankannya. Ada pula yang shalatnya makin rajin. Seakan semua shalat sunnah tidak ada yang ditinggalkan. Atau seakan pindahan dari rumah ke masjid saking banyaknya waktu yang dipakai untuk berkegiatan di dalamnya. Setidaknya membiasakan berdzikir menunggu hingga matahari terbit setelah selesai menunaikan shalat Subuh berjamaah di Masjid. Kemudian melaksanakan shalat dua rakaat setelah masuk waktu Dluha, kangen pahala ibadah Haji dan Umrah. 

Ada juga yang sedekahnya makin kenceng, gak pakai hitungan lagi jika harus membantu sesama. Tidak sedikit juga yang akhlaknya makin baik, yang semula gampang marah jadi lebih sabar dan santun. Sangat menjaga perkataan dan perbuatan dari menyakiti orang lain. 

Banyak lagi cerita luar biasa dari orang-orang yang selesai beribadah haji. Demikianlah memang yang seharusnya terjadi. Idealnya memang kebaikannya meningkat, baik kesalehan individu maupun sosial. Perubahan yang membawa kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Perubahan-perubahan itu menjadi ladang pembuktian kemabruran ibadah haji. 

Sebenarnya agak malu kalau mau menceritakan salah satu perubahan yang saya alami. Bila banyak orang yang mengalamai perubahan pada hal-hal besar, saya malah yang ringan saja. Kebiasaan buang air kecil. Remeh banget kan? 

Saya memang pernah punya kebiasaan gampang buang air kecil. Tidak jarang sejam sekali. Bahkan kurang dari itu jika sedang cuaca dingin atau berada di ruangan ber-AC. Sebentar-sebentar perlu pergi ke toilet. Penyebab hadats kecil lainnya seperti buang angin dan buang air besar bisa dikatakan jarang terjadi. BAB paling-paling sehari sekali. 

Inilah yang menjadi salah satu beban pikiran ketika persiapan menjelang keberangkatan ibadah haji. Khawatir bakal jadi masalah ketika sudah berada di tanah suci. Sampai-sampai saya berbekal kantong khusus yang dapat mengubah air kencing jadi bentuk gel. Jaga-jaga jika kebelet dan kesulitan mengakses toilet. Alternatif kepraktisan di kala darurat. 

Bayangkan saja repotnya! Ketika sedang enak-enaknya berdoa di depan Ka'bah saat menunggu shalat tiba harus keluar mencari toilet. Bakalan susah untuk kembali ke tempat semula. Belum lagi cerita yang pernah saya dengar jika antrean ke toilet biasanya lama. Wah, bisa-bisa sudah tidak bisa menahan ketika masih di antrean. Repot banget kan? 

Kekhawatiran itu menjadi salah satu doa ketika saya memohon kemudahan dalam menjalankan ibadah haji. Mungkin terasa janggal. Doa koq pada hal yang seremeh itu. Tapi bagaimana lagi. Saya memang khawatir tidak bisa optimal menunaikan rukun Islam kelima karena kebiasaan sering buang air kecil itu. Khawatir kesulitan menemukan toilet dan menunggu antrean yang terbayang panjang.

Alhamdulillah, ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Ketika di Madinah tidak banyak masalah. Selain karena banyak tersedia toilet di sekitar Masjid Nabawi, letak hotel yang menjadi pemondokan pun relatif dekat. Kalau terpaksa bisa langsung balik ke pemondokan. 

Demikian juga setelah dimobilisasi ke Kota Makkah. Fasilitas toilet di Masjidil Haraam sangat memadai. Salah satu toilet langganan saya adalah yang berada di dekat Marwa. Kebetulan sangat luas dengan banyak bilik toilet sehingga hampir bisa dikatakan tidak perlu mengantre. Bila sedang padat-padatnya, antrean satu dua orang bisa dimaklumi lah. Masih cukup nyaman. 

Biasanya, saya sempatkan menuntaskan hajat ke toilet dan berwudlu kembali sebelum masuk ke Masjidil Haraam. Maklum, saya kebagian pemondokan yang relatif jauh, di wilayah Aziziah Janubiah. Bisa butuh setengah jam perjalanan untuk sampai di Masjidil Haram. 

Pilihan toilet di dekat pintu keluar dari Marwa itu menjadi langganan karena letaknya sejalan dengan arah kedatangan bis. Begitulah kami datang ke Masjidil Haraam. Naik bis Shalawat dari pemondokan ke Terminal Jamarat, lanjut dengan bis yang disediakan Pemerintah Arab Saudi menyusuri terowongan sampai di Terminal Bab Ali. Lokasi terminal ini berada di tengah, antara Terminal Syeib Amir dan Terminal Ajyad. Jika mampir dulu ke toilet itu akan ketemu dengan arus jamaah yang turun di Terminal Syeib Amir. 

Ada juga toilet lain yang juga favorit saya. Letaknya ke arah Zamzam tower jika keluar dari pintu Abdul Aziz. Kalau gak salah ingat toilet nomer 6. Sangat luas dengan bilik toilet yang sangat banyak. Malah ada kelebihannya dibanding yang di dekat Marwa. Terlihat masih baru dengan lantai keramik yang lebih bersih. Toilet di dekat pintu Marwa memang terlihat lebih kusam karena usia. Hanya saja toilet nomor 6 yang lebih bersih itu bukan di jalur kedatangan dan kepulangan dari terminal Bab Ali. Cukup jauh dari pintu masuk terdekat ke Masjidil Haraam dari arah kedatangan bis yang saya tumpangi. Lebih dekat dari arah kedatangan jamaah yang lewat terminal Ajyad. 

Sebenarnya masih banyak toilet lain di sekitarnya. Tapi kebanyakan memiliki bilik toilet yang gak begitu banyak. Jika sedang padat, antrean bisa lebih dari 5 orang. Belum lagi kalau ada yang permisi menyela antrean dengan dalih kebelet. Bikin makin lama menunggu giliran. Ada juga toilet-toilet di kawasan bangunan perluasan King Abdullah. Sepertinya juga luas-luas. Sayangnya, saat itu masih belum dibuka untuk digunakan. Masih dalam tahap penyelesaian akhir pembangunan. 

Maaf, malah kelamaan bahas toilet di seputaran Masjidil Haraam. Kembali ke kekhawatiran saya. Ternyata selain keberadaan fasilitas toilet yang memadai, tanpa saya sadari frekuensi buang air kecil selama di tanah suci juga menurun. Padahal saya termasuk rajin minum air sesuai anjuran tim kesehatan untuk menghindari risiko dehidrasi. Anehnya bisa tidak ke toilet berjam-jam.  Kantong kencing yang saya bawa sama sekali tidak perlu digunakan. 

Waktu itu saya pikir karena cuaca yang cukup panas. Barangkali banyak terjadi penguapan cairan tubuh. Jika sedang di Masjidil Haraam saya memang lebih suka duduk-duduk di area Tawaf (Mataf) yang punya akses langsung ke udara terbuka. Terasa lebih hangat. Berbeda jika berada di area Sa'i (Masa'a) yang saya rasakan memang  terlalu dingin. Bukan hanya udaranya tapi bahkan lantai untuk duduk juga terasa dingin meskipun sudah beralas sajadah. Pilihan untuk lebih sering berada di Mataf barangkali juga yang membuat frekuensi ke toilet lebih jarang. 

Saat itu menyambung waktu sebelum Maghrib hingga Isya' tanpa dijeda ke toilet menjadi hal yang biasa. Demikian juga ketika pagi. Sering juga datang menjelang Subuh sebelum adzan awal dan terus berada di Mataf hingga lewat waktu syuruk. Sekitar 4 jam bahkan bisa lebih. Meskipun sesekali minum air Zamzam yang memang banyak tersedia, tidak ada rasa kebelet. Heran juga bisa tahan tidak ke toilet selama itu. Tidak direpotkan dengan urusan buang hajat dan berwudlu lagi. Bisa berlama-lama berada di masjid, berburu tempat strategis untuk memandang Ka'bah. 

Lebih tidak terduga lagi, frekuensi buang air kecil yang berkurang itu juga terbawa ketika sudah kembali ke tanah air. Tidak seperti sebelumnya, bisa lebih lama tidak perlu ke toilet. Alhamdulillah ada untungnya. Kebiasaan untuk menjaga wudlu seperti di tanah suci juga bisa diteruskan. 

Sebelumnya saya memang jarang berwudlu ketika habis dari toilet. Merasa repot jika berwudlu lagi ketika harus bolak-balik ke toilet. Belum lagi segudang hal yang bisa dipakai jadi alasan. Risih jika anggota badan sering basah. Malas copot sepatu. Atau alasan lain yang bisa saja dicari-cari. 

Nah, setelah frekuensi ke toilet makin jarang mulai ada perubahan. Lebih rajin berwudlu setelah menyelesaikan hajat. Terlebih ketika di masa pandemi dan lebih banyak WfH. Lebih mudah lagi. Begitu dari toilet langsung berwudlu lagi. Gak ada alasan yang merepotkan ketika dilakukan di rumah sendiri. 

Bisa dikatakan saat ini lebih banyak waktu dalam keadaan berwudlu dibanding dalam kondisi hadats. Meskipun belum bisa menjaga wudlu sepanjang waktu, lumayanlah ada peningkatan. Hikmah dari perubahan remeh. Frekuensi buang air kecil menurun, wudlu bisa lebih terjaga. 

Semoga bisa terus menjaganya di sisa usia ini. Bukankah amalan ringan ketika dikerjakan secara konsisten akan mendatangkan kecintaan Allah SWT? 

Read More

ARAFAH: KESADARAN ATAS KETIDAKBERDAYAAN MAKHLUK DI HADAPAN SANG KHALIK

Leave a Comment


... Kami melaksanakan prosesi Arafah dengan khusyuk di tenda Maktab 39. Meskipun dilengkapi dengan kipas angin yang disertai semprotan air, panas udara dari luar yang menembus atap tenda membuat keringat bercucuran. Akan tetapi ternyata hari ini bukan hanya keringat yang menetes. Inilah momentum dimana air mata banyak tertumpah.

Dimulai setelah memasuki waktu dluhur, ustadz Ali Fikri, pembimbing utama KBIH UQ mulai menyampaikan khotbah Arafah. Khotbah yang tidak terlalu panjang. Ajakan bersyukur telah berada di Arafah sebagaimana Rasulullah SAW, para sahabat, dan shalafus shalih juga pernah berada di sini sebagai ketaatan atas perintah Allah SWT. Ajakan mensyukuri kesempatan berhaji yang bisa jadi merupakan perjalanan sekali seumur hidup.

Khotbah yang disampaikan oleh Ustadz Ali datar-datar saja. Tanpa intonasi yang meledak-ledak. Akan tetapi, di sini, ketika wukuf di Padang Arafah ini, begitu mudah harapan dan ketakutan berpadu melelehkan air mata. Doa yang dipanjatkan ustadz Ali di akhir khotbah membuat air mata semakin menderai. Lantunan doa kadang tertutup oleh suara isak tangis jamaah.

Selesai khotbah, kami melaksanakan shalat jama' qashar Dluhur dan Ashr dengan dua iqamat. Iqomat pertama untuk shalat Dluhur, dan iqamat kedua sebelum shalat Ashr. Begitulah tata cara melaksanakan shalat Dluhur dan shalat Ashr ketika wukuf di padang Arafah.

Isak tangis kembali memenuhi tenda ketika ustadz Ali Fikri memimpin muhasabah setelah menyelesaikan shalat jama' Dluhur dan Ashr. Ajakan untuk mawas diri atas segala kekurangan, kesalahan, dan dosa yang melekat pada diri sendiri, pasangan hidup, orang tua, maupun anak-anak menjadikan diri ini semakin lemah dihadapan-Nya. Sepertinya ustadz Ali sengaja menyiapkan kami agar ketika berdoa di luar tenda sore nanti benar-benar dalam kesadaran akan kelemahan seorang hamba yang mengadu pada Sang Khalik yang Maha Kuasa. Kesadaran akan kehinaan seorang hamba dihadapan Allah yang Maha Mulia. Kesadaran betapa banyak dosa diri ini dihadapan Allah yang maha Pengampun.

Puncak pelaksanaan Arafah adalah ketika matahari sudah tergelincir ke ufuk. Kami keluar dari tenda untuk berdoa dengan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat. Inilah saat yang mustajab. Jika sebelumnya dari mulai khotbah, shalat berjamaah, hingga muhasabah dibimbing oleh Ustadz Ali, kini kami lakukan secara pribadi.

Inilah saatnya masing-masing diri ini menghadap kepada yang Maha Kuasa. Memohon ampunan-Nya. Menumpahkan seluruh hajat. Kami tak malu berdoa sambil terisak. Bahkan kadang tak kuasa membendung suara tangisan. Kami tak peduli dengan keberadaan jamaah lain. Di tengah keramaian Arafah, seakan hanya ada diri ini dan Allah SWT.

Ya Allah, bukankah tiada hari yang Engkau memberikan ampunan yang melebihi hari ini? Tiada hari yang Engkau memberikan kebebasan dari neraka yang melebihi Arafah? Maka janganlah Engkau biarkan hamba meninggalkan Arafah dengan masih berlumuran dosa. Ampunilah dosa hamba, dosa kedua orang tua hamba, dosa istri hamba, dosa anak-anak hamba, dosa saudara-saudara hamba, dan dosa seluruh kaum muslimin dan muslimat, dosa kaum mukminin dan mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah mendahului menghadap kepada-Mu.

Laa ilaaha ilallah wahdahu laa syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syai in qadiir.

Allahumma anta rabbii laa ilaaha illa anta khalaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mas tatha’tu a’uudzu bika min syarri ma shana’tu abuu-u laka bi ni’matika ‘alayya wa abuu-u bi dzanbii faghfir lii fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta.

Memoar Arafah 1439 H, dikutip dari buku UNFORGETTABLE HAJJ: Pengalaman Ringan Dilupakan Jangan

http://bit.ly/order_UNFORGETTABLEHAJJ

Read More
Previous PostPostingan Lama Beranda
Featured Posts