Oleh-oleh Kepulangan Haji

Leave a Comment
Banyak orang yang mengalami perubahan sepulang dari menunaikan ibadah haji. Tentu saja maksudnya adalah perubahan ke arah yang lebih positif. Ada yang shalatnya makin khusyuk, tak jarang sampai meneteskan air mata ketika menjalankannya. Ada pula yang shalatnya makin rajin. Seakan semua shalat sunnah tidak ada yang ditinggalkan. Atau seakan pindahan dari rumah ke masjid saking banyaknya waktu yang dipakai untuk berkegiatan di dalamnya. Setidaknya membiasakan berdzikir menunggu hingga matahari terbit setelah selesai menunaikan shalat Subuh berjamaah di Masjid. Kemudian melaksanakan shalat dua rakaat setelah masuk waktu Dluha, kangen pahala ibadah Haji dan Umrah. 

Ada juga yang sedekahnya makin kenceng, gak pakai hitungan lagi jika harus membantu sesama. Tidak sedikit juga yang akhlaknya makin baik, yang semula gampang marah jadi lebih sabar dan santun. Sangat menjaga perkataan dan perbuatan dari menyakiti orang lain. 

Banyak lagi cerita luar biasa dari orang-orang yang selesai beribadah haji. Demikianlah memang yang seharusnya terjadi. Idealnya memang kebaikannya meningkat, baik kesalehan individu maupun sosial. Perubahan yang membawa kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Perubahan-perubahan itu menjadi ladang pembuktian kemabruran ibadah haji. 

Sebenarnya agak malu kalau mau menceritakan salah satu perubahan yang saya alami. Bila banyak orang yang mengalamai perubahan pada hal-hal besar, saya malah yang ringan saja. Kebiasaan buang air kecil. Remeh banget kan? 

Saya memang pernah punya kebiasaan gampang buang air kecil. Tidak jarang sejam sekali. Bahkan kurang dari itu jika sedang cuaca dingin atau berada di ruangan ber-AC. Sebentar-sebentar perlu pergi ke toilet. Penyebab hadats kecil lainnya seperti buang angin dan buang air besar bisa dikatakan jarang terjadi. BAB paling-paling sehari sekali. 

Inilah yang menjadi salah satu beban pikiran ketika persiapan menjelang keberangkatan ibadah haji. Khawatir bakal jadi masalah ketika sudah berada di tanah suci. Sampai-sampai saya berbekal kantong khusus yang dapat mengubah air kencing jadi bentuk gel. Jaga-jaga jika kebelet dan kesulitan mengakses toilet. Alternatif kepraktisan di kala darurat. 

Bayangkan saja repotnya! Ketika sedang enak-enaknya berdoa di depan Ka'bah saat menunggu shalat tiba harus keluar mencari toilet. Bakalan susah untuk kembali ke tempat semula. Belum lagi cerita yang pernah saya dengar jika antrean ke toilet biasanya lama. Wah, bisa-bisa sudah tidak bisa menahan ketika masih di antrean. Repot banget kan? 

Kekhawatiran itu menjadi salah satu doa ketika saya memohon kemudahan dalam menjalankan ibadah haji. Mungkin terasa janggal. Doa koq pada hal yang seremeh itu. Tapi bagaimana lagi. Saya memang khawatir tidak bisa optimal menunaikan rukun Islam kelima karena kebiasaan sering buang air kecil itu. Khawatir kesulitan menemukan toilet dan menunggu antrean yang terbayang panjang.

Alhamdulillah, ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Ketika di Madinah tidak banyak masalah. Selain karena banyak tersedia toilet di sekitar Masjid Nabawi, letak hotel yang menjadi pemondokan pun relatif dekat. Kalau terpaksa bisa langsung balik ke pemondokan. 

Demikian juga setelah dimobilisasi ke Kota Makkah. Fasilitas toilet di Masjidil Haraam sangat memadai. Salah satu toilet langganan saya adalah yang berada di dekat Marwa. Kebetulan sangat luas dengan banyak bilik toilet sehingga hampir bisa dikatakan tidak perlu mengantre. Bila sedang padat-padatnya, antrean satu dua orang bisa dimaklumi lah. Masih cukup nyaman. 

Biasanya, saya sempatkan menuntaskan hajat ke toilet dan berwudlu kembali sebelum masuk ke Masjidil Haraam. Maklum, saya kebagian pemondokan yang relatif jauh, di wilayah Aziziah Janubiah. Bisa butuh setengah jam perjalanan untuk sampai di Masjidil Haram. 

Pilihan toilet di dekat pintu keluar dari Marwa itu menjadi langganan karena letaknya sejalan dengan arah kedatangan bis. Begitulah kami datang ke Masjidil Haraam. Naik bis Shalawat dari pemondokan ke Terminal Jamarat, lanjut dengan bis yang disediakan Pemerintah Arab Saudi menyusuri terowongan sampai di Terminal Bab Ali. Lokasi terminal ini berada di tengah, antara Terminal Syeib Amir dan Terminal Ajyad. Jika mampir dulu ke toilet itu akan ketemu dengan arus jamaah yang turun di Terminal Syeib Amir. 

Ada juga toilet lain yang juga favorit saya. Letaknya ke arah Zamzam tower jika keluar dari pintu Abdul Aziz. Kalau gak salah ingat toilet nomer 6. Sangat luas dengan bilik toilet yang sangat banyak. Malah ada kelebihannya dibanding yang di dekat Marwa. Terlihat masih baru dengan lantai keramik yang lebih bersih. Toilet di dekat pintu Marwa memang terlihat lebih kusam karena usia. Hanya saja toilet nomor 6 yang lebih bersih itu bukan di jalur kedatangan dan kepulangan dari terminal Bab Ali. Cukup jauh dari pintu masuk terdekat ke Masjidil Haraam dari arah kedatangan bis yang saya tumpangi. Lebih dekat dari arah kedatangan jamaah yang lewat terminal Ajyad. 

Sebenarnya masih banyak toilet lain di sekitarnya. Tapi kebanyakan memiliki bilik toilet yang gak begitu banyak. Jika sedang padat, antrean bisa lebih dari 5 orang. Belum lagi kalau ada yang permisi menyela antrean dengan dalih kebelet. Bikin makin lama menunggu giliran. Ada juga toilet-toilet di kawasan bangunan perluasan King Abdullah. Sepertinya juga luas-luas. Sayangnya, saat itu masih belum dibuka untuk digunakan. Masih dalam tahap penyelesaian akhir pembangunan. 

Maaf, malah kelamaan bahas toilet di seputaran Masjidil Haraam. Kembali ke kekhawatiran saya. Ternyata selain keberadaan fasilitas toilet yang memadai, tanpa saya sadari frekuensi buang air kecil selama di tanah suci juga menurun. Padahal saya termasuk rajin minum air sesuai anjuran tim kesehatan untuk menghindari risiko dehidrasi. Anehnya bisa tidak ke toilet berjam-jam.  Kantong kencing yang saya bawa sama sekali tidak perlu digunakan. 

Waktu itu saya pikir karena cuaca yang cukup panas. Barangkali banyak terjadi penguapan cairan tubuh. Jika sedang di Masjidil Haraam saya memang lebih suka duduk-duduk di area Tawaf (Mataf) yang punya akses langsung ke udara terbuka. Terasa lebih hangat. Berbeda jika berada di area Sa'i (Masa'a) yang saya rasakan memang  terlalu dingin. Bukan hanya udaranya tapi bahkan lantai untuk duduk juga terasa dingin meskipun sudah beralas sajadah. Pilihan untuk lebih sering berada di Mataf barangkali juga yang membuat frekuensi ke toilet lebih jarang. 

Saat itu menyambung waktu sebelum Maghrib hingga Isya' tanpa dijeda ke toilet menjadi hal yang biasa. Demikian juga ketika pagi. Sering juga datang menjelang Subuh sebelum adzan awal dan terus berada di Mataf hingga lewat waktu syuruk. Sekitar 4 jam bahkan bisa lebih. Meskipun sesekali minum air Zamzam yang memang banyak tersedia, tidak ada rasa kebelet. Heran juga bisa tahan tidak ke toilet selama itu. Tidak direpotkan dengan urusan buang hajat dan berwudlu lagi. Bisa berlama-lama berada di masjid, berburu tempat strategis untuk memandang Ka'bah. 

Lebih tidak terduga lagi, frekuensi buang air kecil yang berkurang itu juga terbawa ketika sudah kembali ke tanah air. Tidak seperti sebelumnya, bisa lebih lama tidak perlu ke toilet. Alhamdulillah ada untungnya. Kebiasaan untuk menjaga wudlu seperti di tanah suci juga bisa diteruskan. 

Sebelumnya saya memang jarang berwudlu ketika habis dari toilet. Merasa repot jika berwudlu lagi ketika harus bolak-balik ke toilet. Belum lagi segudang hal yang bisa dipakai jadi alasan. Risih jika anggota badan sering basah. Malas copot sepatu. Atau alasan lain yang bisa saja dicari-cari. 

Nah, setelah frekuensi ke toilet makin jarang mulai ada perubahan. Lebih rajin berwudlu setelah menyelesaikan hajat. Terlebih ketika di masa pandemi dan lebih banyak WfH. Lebih mudah lagi. Begitu dari toilet langsung berwudlu lagi. Gak ada alasan yang merepotkan ketika dilakukan di rumah sendiri. 

Bisa dikatakan saat ini lebih banyak waktu dalam keadaan berwudlu dibanding dalam kondisi hadats. Meskipun belum bisa menjaga wudlu sepanjang waktu, lumayanlah ada peningkatan. Hikmah dari perubahan remeh. Frekuensi buang air kecil menurun, wudlu bisa lebih terjaga. 

Semoga bisa terus menjaganya di sisa usia ini. Bukankah amalan ringan ketika dikerjakan secara konsisten akan mendatangkan kecintaan Allah SWT? 

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment